Jakarta –
Sekolah khusus korban kekerasan digagas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyebut konsep sekolah ini mencontoh konsep cottage school di Amerika Serikat (AS).
Cottage school di AS memberikan pendidikan esensial bagi siswa dengan kebutuhan pembelajaran berbeda. Siswanya mulai dari pelajar homeschooling, berkebutuhan khusus, dan lain-lain.
Sedangkan cottage school ala Kemendikdasmen menurut Mu’ti akan berfokus pada korban. Perhatian awal akan diberikan pada mereka yang menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual (KS).
“Karena selama ini mereka seperti kelompok yang terbuang di masyarakat. Sudah menjadi korban, mereka juga kehilangan kesempatan belajar,” tutur Menteri Mu’ti kepada detikEdu di kantornya, Jl Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024) ditulis Kamis (21/11/2024).
Pembelajaran di Sekolah Khusus Korban Kekerasan
Mu’ti mengatakan bentuk pelaksanaan cottage school ala Kemendikdasmen masih dalam pengembangan. Sejauh ini, pembelajaran cottage school yang diberikan rencananya tidak harus berbasis sekolah.
“Pembelajaran yang (diberikan) tidak harus berbasis sekolah. Bisa life skill,” katanya.
Mu’ti mengatakan opsi bentuk cottage school di Indonesia dapat bermacam-macam. Dari rumah belajar, pesantren khusus yang bekerja sama dengan lembaga agama, hingga berbentuk panti asuhan atau lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA).
“(Khusus) panti asuhan, dia (korban kekerasan) tidak harus tinggal di situ. Bertemu di situ (panti asuhan) untuk belajar, meningkat keterampilan. Intinya, mereka harus tetap bisa belajar dan mengembangkan diri,” ucap Mu’ti.
Seluruh bentuk sekolah khusus korban kekerasan yang disampaikan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu merupakan lembaga pendidikan nonformal. Karena itu, siswa tidak bisa mendapat ijazah di akhir pembelajaran.
Jika ia nantinya memerlukan ijazah, siswa tersebut harus mengikuti ujian kesetaraan sesuai jenjang pendidikannya. Yakni Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA).
“Pembelajaran tidak harus di sekolah formal. Ini kan harus kita buka aksesnya. Kalau mereka tidak mau, ya enggak apa-apa. Yang penting mereka belajar dan kita juga belajar. Sifatnya masih eksplorasi,” tegasnya.
Pendekatan Partisipasi Semesta
Mu’ti mengakui masih ada stigma dan diskriminasi dengan menolak siswa korban kekerasan di lingkungan pendidikan. Masalah ini berisiko membuat anak tidak terbuka atas kekerasan yang ia alami maupun kehilangan akses pendidikan.
Penolakan juga dialami siswa disabilitas di sekolah umum. Selama ini, Sekolah Luar Biasa (SLB) menjadi respons hari ini memberikan wadah agar anak-anak tetap bisa berkembang sesuai minat dan bakatnya.
Mu’ti juga menemukan ada beberapa Pusat Kegiatan Belajar Masyaraka (PKBM) yang menyelenggarakan dan mengembangan sekolah inklusi. Untuk itu, ia mengatakan Kemendikdasmen akan mendatanya lebih lanjut dan mengembangkan sejumlah langkah. Contohnya seperti PKBM afirmasi atau membuat PKBM baru.
Hal ini menurut Mu’ti selaras dengan prinsipnya dalam melaksanakan amanah sebagai Mendikdasmen. Yakni menggunakan pendekatan partisipasi semesta.
“Artinya semua bisa kita ajak, kita libatkan. Tidak harus semua hal itu dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Nggak akan mampu kita,” ucapnya.
Dengan pendekatan partisipasi semesta, ia berharap banyak kerja sama yang terjalin dengan berbagai pihak.
“Mudah-mudahan dengan pendekatan partisipasi semesta kita bisa bekerja sama untuk memenuhi amalan konstitusi, mencerdaskan kehidupan bangsa,” tutup Mu’ti.
(det/twu)