Jakarta –
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan pihaknya akan memastikan talenta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) Indonesia akan diberi penghasilan yang setidaknya setara dengan talenta iptek negara tetangga, Malaysia.
“Kita akan memastikan bahwa putra-putri terbaik kita bisa mendapat gaji, penghasilan, take home pay yang saya tidak bicara terbaik, tapi minimal setara, comparable dengan yang di Malaysia,” kata Handoko pada acara Anugerah Talenta Unggul Habibie Prize 2024 di Gedung BJ Habibie BRIN, Jakarta, Senin (11/11/2024).
Handoko mengatakan janji tersebut merupakan bagian dari memastikan Indonesia memberi opsi pada putra-putri terbaiknya untuk berkiprah sesuai kepakaran di negaranya sendiri.
“Kita tidak ingin, kita tidak memaksa semua orang bekerja di negara ini, itu adalah hak dan semua orang bisa berkontribusi dari manapun. Tetapi, negara ini tidak boleh tidak memberikan opsi (bagi) putra-putri terbaik kita kesempatan. Dan tidak ada alasan untuk tidak bisa berkiprah sesuai bidang kepakaran dan passion-nya di negara kita,” katanya.
Infrastruktur dan Hibah
Terkait kesempatan riset dan inovasi di dalam negeri, ia menjelaskan negara melalui BRIN menyelenggarakan infrastruktur, skema mobilitas periset, dan skema hibah riset.
Handoko menjelaskan pihaknya tidak memberikan infrastruktur bagi talenta iptek RI, tetapi akses pada infrastruktur yang sudah ada. Sedangkan skema hibah riset bersifat kompetisi.
“Itu yang membedakan skema yang ada di kami dan Kemendikti Saintek (Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi) saat ini. Karena di Kemendikti Saintek masih ada program yang bersifat afirmasi, kelembagaan. Tetapi di BRIN, semuanya harus kompetisi murni,” ucapnya.
“Itu untuk memastikan kita dapat memberikan opsi sehingga tidak boleh ada alasan putra-putri terbaik kita itu tidak pulang, misalnya, ke Indonesia karena tidak ada kesempatan dan seterusnya,” sambung Handoko.
Peluang Mendapat Pendanaan
Handoko mengatakan hibah riset BRIN berdasarkan pada penilaian proposal riset dan rekam jejak, termasuk di antaranya yakni publikasi yang bereputasi.
“Yang memberikan penilaian dan yang kami lihat penilaiannya itu dari pihak ketiga, dari komunitas globalnya. Jadi kita tidak pernah melakukan penilaian sendiri, tetapi pada pihak ketiga yang paham ilmu Bapak-Ibu sekalian,” ucapnya.
“Publikasi bereputasi global, penghargaan tertinggi, itu bukan tujuan, tetapi adalah alat ukur, indikator, dan kontrol kualitas untuk QC bahwa apa yang sudah dilakukan itu memenuhi standar dan juga norma komunitas global,” sambung Handoko.
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan penerima beasiswa LPDP tak wajib pulang ke Tanah Air jika memperoleh izin dan tidak terikat ikatan dinas. Contohnya adalah alumni beasiswa LPDP yang bekerja di lembaga internasional mewakili Indonesia, seperti PBB, IMF, dan IDF.
Berdasarkan aturan LPDP, alumni beasiswa LPDP juga dapat mengurus izin tidak pulang ke Indonesia jika magang di lembaga internasional paling lambat 3 bulan sejak tanggal lulus dan paling lama berdurasi 2 tahun.
Satryo mengatakan penerima beasiswa LPDP tidak wajib pulang ke Tanah Air salah satunya karena kurangnya lahan pekerjaan yang cocok dengan mereka sepulangnya ke Tanah Air. Sementara itu, pemerintah juga masih kekurangan dana untuk mengatasi masalah ini.
“Kalau yang orang bebas (tanpa ikatan dinas), dia belajar, kemudian kalau pulang, dia mungkin belum ada pekerjaan di sini. Pemerintah nggak mungkin juga mendanai mereka kan. Ya, hanya bisa kasih beasiswa,” ucapnya usai rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks DPR, Jakarta, Rabu (6/11/2024).
(twu/nah)