Jakarta –
Dua siswa asal Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 2 Kota Surabaya berinovasi untuk mendeteksi disleksia secara dini. Mereka adalah Fathi Zahiya dan Nur Maisyah Ilmira.
Temuan ini merupakan hasil dari penelitian mereka yang berjudul “Implementasi Metode Neural Network dan Elektroensevalografi pada Rancang Bangun Aplikasi Deteksi Disleksia Berbasis Mobile (DMD)”, seperti dikutip dari laman Kemenag, Senin (9/9/2024).
Fathi menjelaskan otak manusia memiliki gelombang alfa, beta, delta, gama, dan theta. Gelombang tersebut bisa dideteksi lewat permukaan otak menggunakan alat elektroensefalografi (EEG).
Pada penderita disleksia, gelombang beta dan gamanya selalu tak beraturan. Kesimpulan Fathi dan Nur ini telah diuji lewat metode epoch sebanyak 20 kali dan hasilnya akurat 100%.
“Dari sini saja sudah dapat disimpulkan bahwa objek mengalami gangguan disleksia,” kata Fathi.
Cara Penggunaan Alat Deteksi Disleksia
Fathi kemudian menjelaskan bagaimana cara penggunaan alat yang digagasnya. Nantinya, akan ditempelkan beberapa sensor di kepala anak.
Lalu alat elektroensefalografi membaca gelombang dalam kepala anak. Alat akan menunjukkan grafik semua gelombang otak secara terperinci dalam skala amplitudo.
“Jadi setelah dites langsung keluar hasilnya, dengan hasil skor yang akurat,” kata Fathi
Menurut Vira Wardati, guru pembimbing Fathi dan Nur, metode tersebut masih belum dipakai oleh para psikolog. Padahal modal membuat alat ini hanya memakan biaya Rp 5 juta.
Selain itu, durasi pembuatan alat hanya dalam waktu dua bulan. Meski demikian, Vira menegaskan alat ini bukan untuk terapi tetapi hanya deteksi.
Psikolog biasanya menggunakan empat jenis terapi yakni terapi wicara (speech therapy), terapi multisensori, terapi program membaca, dan terapi yoga. Empat metode itu bisa meningkatkan kemajuan otak kecil untuk penderita.
Beda Uji Disleksia oleh Psikolog dan Detektor
Disleksia adalah suatu kondisi seseorang mengalami kesulitan dalam memahami sesuatu. Biasanya masalah ini ditandai oleh kesulitan dalam menulis dan membaca.
Berdasarkan data dari Dyslexia Center Indonesia (2019), prevalensi disleksia sebesar 10%. Artinya, masalah ini termasuk cukup umum di Indonesia.
Lewat alat yang digagas Fathi dan Nur, seseorang bisa mendeteksi apakah ia punya disleksia secara instan. Artinya, mereka tak perlu lagi datang ke psikolog dan mengikuti serangkaian tes.
Rata-rata orang tua yang menduga anaknya mengalami disleksia datang ke psikolog. Mereka akan mengikuti serangkaian tes uji.
Mulai dari mengamati tanda-tanda umum seperti kesulitan membaca, menulis, mengingat warna, hingga memahami tata bahasa. Selain itu, psikolog juga akan memberikan beberapa soal yang harus diisi.
Menurut Fathi, proses tersebut cukup lama. Hasil analisa dari psikolog akan keluar dalam waktu kurang lebih 10 hari.
“Proses ini cukup melelahkan dan terkadang tidak diteruskan hingga tuntas,” katanya.
Dengan adanya alat ini, Vira berharap orang tua bisa segera mendeteksi anaknya yang mempunyai gejala disleksia. Jika terapi dilakukan lebih dini, maka keparahan disleksia anak bisa dicegah.
(cyu/pal)