Jakarta –
Hanya ada segelintir orang Indonesia yang bisa menginjakkan kaki di Antartika atau Kutub Selatan bumi. Dua di antaranya adalah alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) yaitu Dr Nugroho Imam Setiawan dan Gerry Utama.
Keduanya berhasil menjelajah Antartika dalam waktu yang berbeda untuk ekspedisi penelitian. Nugroho datang ke Antartika pada November 2016-Maret 2017 dalam misi Japan Antarctic Research Expedition (JARE), sedangkan Gerry bagian dari misi Russian Antarctica Expedition (RAE) yang berlangsung selama Februari-Juli 2024.
Untuk Gerry, ia berhasil menjadi orang Indonesia dan ASEAN pertama yang mengikuti program RAE yang sudah berjalan sebanyak 69 kali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang Dilakukan Alumni UGM di Antartika?
Nugroho yang lebih dulu ke Antartika, berangkat bersama lima orang peneliti Jepang dan dua orang lainnya dari Mongolia dan Thailand. Karena Antartika adalah benua dengan iklim sangat ekstrem, berbagai persiapan matang perlu dilakukan.
Selama sebulan, ia harus mengikuti pelatihan insentif seperti cara penggunaan peralatan di salju, tata cara berpakaian, pelatihan bertahan hidup di kondisi darurat, pendirian tenda, cara memasak dan buang air.
“Saya saat itu bergabung dengan delapan orang dalam tim geologi. Saat itu, Antartika sedang musim panas sehingga matahari bersinar 24 jam setiap harinya, sedangkan suhu udaranya berkisar -5 derajat (Celsius) di malam hari dan -2 derajat (Celsius) di siang hari,” kenang Nugroho, sebagaimana dikutip dari laman UGM, Kamis (23/1/2025).
Di tengah cuaca dingin ekstrem tersebut, ia dan tim JARE 58 harus merampungkan penelitian yang terbagi dalam sepuluh topik, antara lain meteorologi, atmosfer, biologi terestrial, oseanografi, geofisika, geodesi, dan geologi. Mereka diharuskan mengumpulkan sampel batuan metamorf di setiap lokasi penelitian.
“Kami berusaha menyingkap batuan metamorf, batuan tertua di bumi berusia 3,8 miliar tahun yang ada di Antartika. Kami mencoba merekonstruksi ulang dan mendetailkan data-data yang sudah ada sebelumnya tentang batuan-batuan metamorf yang ada di Antartika,” ungkap Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM tersebut.
Sementara Gerry, menjelajahi Antartika saat sedang mengikuti program Magister Paleogeografi di Saint Petersburg State University, Rusia. Ia berangkat bersama dengan tim RAE menggunakan kapal riset akademik Tyroshnikov milik Rusia.
Ia dan timnya melakukan penelitian untuk merekonstruksi atlas baru wilayah Pulau King George untuk pemerintah Rusia. Menariknya, dalam penelitian, Gerry dan tim menemukan sebuah fosil kayu berusia 130 juta tahun lalu.
“Hal ini bisa membuktikan bahwa dulunya Antartika pernah ditutupi tanaman hijau seperti bagian bumi lainnya,” terang alumnus prodi Geografi dan Ilmu Lingkungan, Fakultas Geografi UGM itu.
![]() |
Tantangan Selama Hidup di Antartika
Selama menjalani misi, Nugroho mengaku ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Terutama soal adaptasi tubuh dan kebiasaan.
Ia mengaku tubuhnya merasakan gatal-gatal setiap saat sehingga ia harus meminum obat setiap harinya untuk mencegah reaksi tersebut. Kondisi ini harus ditambah dengan tidak adanya penghangat tenda, sehingga mengharuskan setiap orang menggunakan pakaian tiga lapis.
Nugroho menceritakan, bahkan untuk feses yang diproduksi itu, harus dibawa pulang. Sebab kondisi suhu Antartika yang ekstrem membuat bakteri pengurai kotoran tidak dapat hidup.
“Nantinya, feses ini dibawa kembali dan akan dibakar di kapal,” ceritanya.
Senada dengan Nugroho, Gerry juga menghadapi tantangan selama di Antartika. Ia menyebutkan bahwa jadwal setiap harinya sangat diatur untuk menjaga kondisi tubuh.
Misal, jam mandi diatur dan jam untuk waktu setiap harinya akan direset, jadi bisa lebih awal atau mundur.
“Begitu juga dengan arah kiblat yang dapat berganti setiap harinya,” ujar Gerry.
Kondisi tersebut, lanjutnya, dapat diperparah dengan angin kencang yang bisa sampai 300 km/jam. Tidak jarang, hal ini membuat ia dan timnya harus bermalam di stasiun penelitian.
Harapan untuk Alumni UGM
Meski banyak tantangan dan rintangan, Keduanya baik Nugroho maupun Gerry, sama-sama berharap agar pencapaian ini tidak berhenti pada mereka saja.
“Semoga kawan-kawan UGM yang lain bisa melanjutkan ke Antartika,” harap Gerry.
Menurutnya, sangat penting bagi Indonesia untuk peduli dengan Antartika. Sebab, kutub selatan bumi tersebut berada di samudra yang sama dengan Indonesia.
Gerry menambahkan, saat ini semua pihak perlu sadar bahwa saat ini Antartika bermasalah. Jadi, dunia, termasuk Indonesia akan secara tidak langsung terkena dampaknya.
“Dengan demikian, Indonesia dapat menyiapkan lembaga riset Antartika untuk secara langsung hadir dan mengkaji Antartika,” pungkasnya.
(faz/nwk)