Jakarta –
Hidup di istana dan bergelimang harta mungkin jadi impian banyak orang. Namun, apa yang dilakukan pangeran Kesultanan Yogyakarta justru sebaliknya. Ia memilih pergi dari istana dan memilih hidup menjadi kuli.
Pangeran yang dimaksud adalah Ki Ageng Suryomentaram. Ia adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VII dari Kesultanan Yogyakarta.
Ki Ageng Suryomentaram memiliki nama lain yang dikenal dengan Ki Gede Suryomentaram. Ia juga memiliki gelar ningrat Bendara Pangeran Harya (BPH). Nama Ki Ageng Suryomentaram sendiri diberi oleh Ki Hajar Dewantara (Bapak Taman Siswa).
Nama Ki Ageng Suryomentaram
Ki Ageng Suryomentaram lahir pada 20 Mei 1892 dan memiliki nama asli Bendara Raden Mas Kusdarmadji. Nama Suryomentaram sendiri berasal dari dua kata yakni “Suryo” (atau surya) dan “Mentaram” (atau Mataram). Jadi Suryomentaram memiliki arti “Matahari Mataram”.
Dikutip dari buku “Ilmu Bahagia: Ki Ageng Suryomentaram, Sejarah, Kisah, dan Ajaran Kemuliaan” karya Sri Wintala Achmad, mataram pada nama Ki Ageng Suryomentaram bukan mengacu pada ibu kota Medang semasa pemerintahan Ratu Sanjaya (717-760) atau Rakai Sumba Dyah Wawa (924-928).
Nama tersebut mengacu pada negeri Mataram Islam atau Mataram Baru, yakni suatu negeri yang didirikan oleh Raden Bagus, Danang Sutawijaya, Ngabehi Loring Pasar, atau Panembahan Senapati (putra Ki Pemanahan atau Ki Ageng Mataram) pada 1587.
Termasuk di dalamnya, negeri-negeri pecahannya pasca-pemerintahan Raden Mas Sayidin (Sunan Amangkurat I) pada 1677, terutama Kesultanan Yogyakarta
Jadi, jika dilihat dari maknanya, nama Suryomentaram memiliki pengertian “Cahaya Mataram”. Nama ini diberikan oleh ayah yang diharapkan menjadi pusaka selama hidupnya.
Ki Ageng Suryomentaram: Dikenal Anak Cerdas yang Menguasai Empat Bahasa
Suryomentaram memiliki garis keturunan dari Raden Mas Sujana, Pangeran Mangkubumi, atau Sri Sultan Hamengkubawana I (pendiri Kesultanan Yogyakarta) pada 1755; Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa, Sunan Amangkurat IV, atau Raden Mas Suryaputra); dan raja-raja Mataram Islam (Mataram Baru).
Dalam pendidikan, Ki Ageng Suryomentaram kecil sudah dikenal sebagai anak cerdas. Meski dia seorang putra Sri Sultan Hamengkubuwana VII, tapi ia tidak disekolahkan di negeri Belanda sebagaimana beberapa putranya yang lain.
Namun, hal ini tidak membuat Suryomentaram tertinggal. Bahkan ia merupakan anak yang menguasai tiga bahasa asing, yakni: bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Arab.
Di lingkungan istana, Suryomentaram belajar di Sekolah Srimanganti, yakni pendidikan formal setingkat dengan Sekolah Dasar (SD) pada masa sekarang. Sesudah menamatkan pendidikan formal di Srimanganti, ia melanjutkan kursus di Klein Ambtenaar.
Tak hanya kursus, Suryomentaram dikenal gemar belajar dan membaca buku-buku berbagai topik, seperti sejarah, filsafat, psikologi, dan agama. Ini yang membuat Suryomentaram di kemudian hari bisa menguasai keempat disiplin ilmu tersebut, termasuk dikenal sebagai ahli ilmu jiwa manusia dan filsuf.
Sementara di dalam pendidikan agama Islam, Ki Ageng Suryomentaram belajar mengaji dan mendalaminya pada gurunya yakni Kiai Haji Ahmad Dahlan, sang pendiri organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta.
Dari Ahmad Dahlan, Suryomentaram mempelajari makna Islam, kehidupan, dan manusia. Selain agama Islam, Ki Ageng Suryomentaram juga mempelajari agama Katolik, Buddha, Hindu, dan aliran-aliran kebatinan.
Meninggalkan Istana dan Memilih Hidup sebagai Rakyat Jelata
Setamat dari kursus di Klein Ambtenaar, Ki Ageng Suryomentaram bekerja di residen Yogyakarta selama dua tahun lebih. Lalu pada usia 18 tahun, Suryomentaram diangkat oleh Sri Sultan Hamengkubuwana VII menjadi pangeran bergelar Bendara Pangeran Harya (BPH).
Ini membuat yang semula bernama Bendara Raden Mas (BRM) Kudiarmadji berubah menjadi Bendara Pangeran Harya (BRH) Suryomentaram.
Meski bergelar bangsawan, Ki Ageng Suryomentaram justru memilih meninggalkan gelar kepangeranannya dan pergi dari istana. Ia bertekad menjadi rakyat jelata yang jauh dari gelimang harta benda dan jauh dari gemerlap kehidupan istana Kesultanan Yogyakarta.
Menurut keterangan, Suryomentaram merasa bahwa kehidupan di lingkup istana sangat berbeda jauh dengan nasib para petani yang disaksikannya ketika melakukan perjalanan dengan kereta api ke wilayah Kasunanan Surakarta pada awal abad ke-20.
Di mata Suryomentaram, para petani yang tengah bekerja di sawah atau di ladang memiliki etos kerja tinggi. Mereka bekerja keras, tetapi yang diperoleh tidak setimpal dengan beratnya pekerjaan. Kemudian dia melihat dirinya yang bekerja ringan dan bahkan tanpa bekerja pun dapat hidup layak dan memiliki cukup uang.
Setelah hati dan pikirannya gelisah, ia menimbang, dan pada akhirnya ia menyepi ke tempat-tempat yang selalu dikunjungi oleh para leluhurnya.
Beberapa tempat sunyi yang dijadikan Suryomentaram untuk mendapatkan terang batin atau pencerahan, antara lain Luar Batang, Lawet, Gua Langse, Gua Cermin, Kadilangu, dan Parangtritis yang semula dikenal dengan Mantingan, serta tempat-tempat lainnya.
Setelah merasa tenteram, ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan istana Kesultanan Yogyakarta. Ia pergi dari istana dengan mengenakan pakaian kumal seperti seorang rakyat jelata.
Suryomentaram hanya membawa bekal secukupnya dan melakukan laku prihatin dengan cara berkelana dari tempat satu ke tempat lainnya. Sampai akhirnya ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwana VII memerintahkan kepada kedua orang kepercayaannya yakni KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan RL Mangkudigdoyo untuk mencari putranya itu.
Selama masa pencarian, orang utusan Sri Sultan melihat seorang yang mirip dengan Ki Ageng Suryomentaram. Namun, orang yang mirip dengan Suryomentaram itu sudah menyerupai orang miskin yang mengenakan pakaian sederhana dan bekerja keras sebagaimana rakyat jelata pada umumnya.
Saat itu, Ki Ageng Suryomentaram mengaku dirinya bernama Natadangsa. Saat dikenali, salah seorang kepercayaan Sri Sultan memintanya untuk pulang ke Kesultanan Yogyakarta. Alasannya karena orang tuanya di istana sudah sangat gelisah.
Sampai akhirnya, Suryomentaram mengikuti permintaan itu dan pulang ke istana. Itu dilakukan diam-diam karena ia tidak ingin diketahui identitas aslinya oleh rakyat kecil.
(faz/nwk)