Jakarta –
Salah satu teknologi Artificial Intelligence (AI) yakni ChatGPT semakin berkembang pesat. Namun, tak bisa dipungkiri kegunaannya yang besar dibarengi dengan ancaman terutama di bidang pendidikan dan perguruan tinggi.
ChatGPT sebelumnya dikenal sebagai teknologi canggih yang bisa melakukan simulasi percakapan manusia. Dengan ChatGPT, pengguna bisa bertanya atau menuliskan perintah dan kemudian hasilnya akan muncul dengan cepat dan cukup akurat.
Pada dasarnya, ChatGPT bisa membantu pengguna menyelesaikan tugas. Namun, sebagai sistem komputer, ChatGPT belum bisa menafsirkan data. Artinya, pengguna hanya bisa meminta untuk menuliskan tugas, karya ilmiah, hingga karya penulisan lain. Akibatnya, seseorang tak perlu lagi berpikir untuk menulis panjang, cukup menulis perintah di ChatGPT.
Fakta ini yang kemudian mengancam dunia pendidikan. Terlebih dengan kecanggihan baru ChatGPT yang memiliki model bahasa besar (LLM). Dengan LLM ini, maka AI bisa menampilkan teks dari data yang sangat besar dan menghasilkan tulisan yang mirip dengan buatan manusia.
Pada akhirnya, ancaman ini membuat salah satu dosen di Amerika Serikat, memutuskan untuk berhenti mengajar. Apa alasannya?
Godaan AI Dalam Dunia Kepenulisan
Seorang doktor dalam bidang sastra Hispanik, penulis, dan pengajar di Amerika Serikat, Victoria Livingstone, menceritakan pengalamannya berhenti mengajar di kelas setelah hampir 20 tahun.
Selama ini, ia menghabiskan kariernya untuk mengajar menulis, sastra, dan bahasa, terutama kepada mahasiswa. Penyebabnya, karena penggunaan teknologi AI ChatGPT untuk menulis.
“Saya berhenti. Sebagian besar, karena model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT,” ucapnya dalam majalah Time, dikutip Rabu (2/10/2024).
Baginya, menulis adalah proses yang terkait erat dengan berpikir. Misalnya, di sekolah pascasarjana, Livingstone menghabiskan waktu berbulan-bulan mencoba memasukkan potongan-potongan disertasi ke dalam pikiran.
“Saya dapat memecahkan teka-teki tersebut hanya melalui tulisan. Menulis adalah kerja keras. Terkadang menakutkan. Dengan godaan AI yang mudah, banyak mungkin sebagian besar siswa saya tidak lagi mau menghadapi ketidaknyamanan,” imbuhnya.
Mahasiswa Bergantung pada ChatGPT
Berdasarkan pengalamannya, Livingstone menceritakan bahwa mahasiswa doktoral di sebuah perguruan tinggi teknik pada dasarnya sangat memahami mekanisme AI generatif.
Mereka mengakui LLM sebagai alat penelitian yang tidak dapat diandalkan karena bisa kurang tepat, termasuk dalam menciptakan kutipan. Mereka mengakui dampak sosial dan masalah etika dari teknologi tersebut.
Para mahasiswa tahu bahwa model seperti ChatGPT itu tidak dapat menghasilkan penelitian baru. Namun, nyatanya itu tetap membantu dan akhirnya tetap membuat mahasiswa bergantung.
“Beberapa mahasiswa mengaku menyusun penelitiannya dalam bentuk catatan dan meminta ChatGPT untuk menulis artikelnya,” ucap Livingstone, yang mengajar di New Jersey Institute of Technology, Moravian University, dan Whitman College.
Sebagai seorang guru yang berpengalaman, dia tidak menolak penelitian dari AI. Meski akrab dengan praktik terbaik pedagogi, dia juga bisa menyusun tugas dan meneliti cara untuk memasukkan AI generatif ke dalam rencana pembelajarannya.
Ini artinya, meski kemampuan ke teknologinya terbatas, Livingstone tetap berusaha menarik perhatian dalam pengajarannya. Pengalaman ini yang juga membuat dirinya tahu bahwa hasil tulisan ChatGPT bisa mengubah sebuah makna.
“Saya mengingatkan siswa bahwa ChatGPT dapat mengubah makna sebuah teks ketika diminta untuk merevisi. Teks tersebut dapat menghasilkan informasi yang bias dan tidak akurat, bahwa teks tersebut tidak menghasilkan tulisan yang kuat secara gaya,” paparnya.
Menurutnya, bagi siswa yang berorientasi pada nilai, hal tersebut tidak menghasilkan A-. Namun, para siswa masih mengaku tidak masalah dan tetap menggunakannya.
Hal ini langsung dibuktikan olehnya dalam pengajarannya. Dalam satu kegiatan, siswa menyusun sebuah paragraf di kelas, memasukkan karyanya ke ChatGPT dengan perintah revisi, dan kemudian membandingkan hasilnya dengan tulisan asli mereka.
Hasilnya, sebagian besar siswa belum cukup berkembang sebagai penulis untuk menganalisis seluk-beluk makna atau mengevaluasi gaya penulisan dari ChatGPT dan tidak.
“Siswa saya juga sangat bergantung pada alat parafrase yang didukung AI seperti Quillbot. Parafrase yang baik, seperti halnya menyusun penelitian asli, merupakan proses memperdalam pemahaman,” terang Livingstone.
Setelah dianalisis, Livingstone mengatakan bahwa teknologi tersebut ternyata sering kali menghasilkan gaya penulisan yang tidak konsisten. Ini artinya, teknologi itu tidak selalu membantu siswa menghindari plagiarisme.
Hasil Tulisan Mahasiswa yang Dibuat oleh AI
Livingstone mengemukakan bahwa AI generatif, dalam beberapa hal, merupakan alat demokratisasi. Namun, masalahnya adalah mahasiswa tidak mengenali teks yang dibuat atau direvisi oleh AI.
“Pada awal setiap semester, saya meminta siswa menulis di kelas. Dengan sampel dasar tersebut sebagai bahan perbandingan, mudah bagi saya untuk membedakan antara tulisan siswa saya dan teks yang dihasilkan oleh ChatGPT,” terangnya.
Hasilnya, dia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menilai tulisan yang dihasilkan oleh AI. Bahkan dia mencatat argumen-argumen hasil AI tidak masuk akal.
Dia membuktikan bahwa ChatGPT tidak paham gaya kepenulisan. Selain itu, menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk memberi revisi kepada AI dibanding kepada mahasiswanya.
“Jadi saya berhenti,” tegas Livingstone.
Baginya, pendidik terbaik akan beradaptasi dengan AI. Dalam beberapa hal, perubahannya akan berdampak positif. Namun, guru harus menjauh dari aktivitas mekanis atau memberikan ringkasan sederhana.
Mereka harus menemukan cara untuk mendorong siswa berpikir kritis dan belajar bahwa menulis adalah cara menghasilkan ide, mengungkap kontradiksi, dan memperjelas metodologi.
“Siswa harus belajar untuk bergerak maju dengan keyakinan pada kemampuan kognitif mereka sendiri saat mereka menulis dan merevisinya hingga menjadi jelas,” pungkasnya.
(faz/nwy)