Jakarta –
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah telah memutuskan kebijakan untuk memberikan pelajaran matematika sejak dini. Keputusan ini mengharuskan semua guru mencari cara yang inovatif agar anak-anak dapat memahami materi dengan mudah.
Begitu pula dengan guru muda dari program CT ARSA Foundation, Pi Mengajar (Pijar) batch keempat yang akan diberangkatkan ke berbagai daerah-daerah pelosok di Indonesia. Tentu saja, implementasi kebijakan tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan terutama di wilayah terpencil. Setidaknya, hal tersebut diamini salah satu pengajar muda Pijar Yuvensius Lana, asal Nusa Tenggara Timur (NTT).
Program Pijar mengutus Yuven untuk mengajar di SD Negeri Reda Meter, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya, NTT. Yuven berasal dari Manggarai Timur, Pulau Flores. Namun, ia mengenyam pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Citra Bakti, Ngada. Di kampus tersebut ia mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
“Panggilan saya memang jadi seorang guru,” katanya pada detikedu usai pelepasan Pijar Batch 4. Acara pelepasan tersebut dipimpin langsung Founder CT Arsa Foundation, Anita Ratnasari Tanjung dalam acara yang bertajuk ‘4 Happiness’ di Menara Bank Mega Syariah, Jakarta Selatan, Kamis (14/11/2024).
Setelah mendapat gelar Sarjana Pendidikan pada 2020, ia mengajar di SD Generasi Unggul, Bajawa, Ngada dengan status guru honorer muda. Yuven menjadi sempat menjadi guru kelas 3 sebelum digantikan oleh guru PNS.
Tak lagi mengajar di sekolah, ia kemudian menjadi guru privat yang memberikan les keliling dari rumah ke rumah dan mengajar di Rumah Belajar Visioner Bajawa. Sampai akhirnya, seorang kawannya membagikan informasi soal Program Pijar lewat Instagram. “Saya memutuskan daftar karena motivasi dan panggilan saya jadi guru,” ujarnya.
Tantangan Fasilitas dan Pembelajaran di Daerah Terpencil
Memiliki pengalaman mengajar selama 4 tahun setidaknya menjadi bekal bagi Yuven mengikuti Program Pijar. Menurut Yuven, anak-anak di daerah pelosok memerlukan pengajaran yang lebih kreatif dan inovatif agar materi pelajaran lebih mudah memahami. Keterbatasan fasilitas diakuinya menjadi salah satu hambatan utama. Meski demikian, hal ini tidak membuat Yuven kehilangan akal.
Berdasarkan pengalamannya, Yuven mengungkapkan dirinya memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitar untuk menjadi alat bantu pembelajaran. Dengan cara ini anak-anak akan lebih mudah menangkap maksud dari pembelajaran yang disampaikan. “Untuk medianya tidak usah seistimewa seperti yang di daerah perkotaan. Jadi untuk benda-benda konkret saja yang ada di sekitar,” kata Yuven.
Yuven menjelaskan meskipun fasilitas pembelajaran di daerah pelosok terbatas, benda-benda di sekitar dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar. Misalnya dengan menggunakan batu, daun, atau benda lain yang ada di sekitar. Dengan cara ini anak-anak tidak hanya memahami teori, tetapi juga pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari.
Tantangan lain yang dihadapi selain fasilitas pembelajaran kendala lainnya adalah bahasa dan budaya. “Tantangan yang dihadapi, yang pertama adalah masalah kultur. Kemudian karena di daerah pelosok, banyak anak-anak belum bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik,” jelasnya. Hal ini bisa menjadi hambatan terutama jika mengajarkan pada materi yang lebih sulit.
Yuvensius Siapkan 4 Program dalam Program Pijar
Dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terpencil, para guru muda Pijar tidak hanya menyiapkan media pembelajaran yang tetap tetapi juga program yang tepat. Salah satu yang dirancangnya adalah program calistung. Program ini dimulai dengan mengajarkan konsep dasar matematika kepada anak-anak. “Saya lebih menekankan pada Calistung,” ujarnya.
Menurutnya pendekatan ini sangat penting agar anak-anak memiliki fondasi yang lebih kuat sebelum ke pembelajaran yang lebih sulit. “Dasar itu harus diutamakan. Itu sebagai fondasi dasar yang harus dimiliki anak-anak sebelum belajar hal yang lebih sulit,” tuturnya.
Keputusan untuk memulai pembelajaran dari Calistung karena setelah melihat banyaknya anak-anak yang masih kesulitan dalam membaca dan berhitung. “Saya amati dari berbagai kurikulum sebelumnya, masih banyak anak-anak yang bermasalah dalam membaca dan berhitung,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyiapkan program literasi digital, literasi numerasi, dan penanaman karakter positif. “Sekarang siswa itu dibebaskan untuk menggunakan gadget yang menyebabkan proses pembelajaran tidak dilakukan dengan baik,” ujarnya.
Ia pun mengharapkan semua program yang disiapkan tersebut dapat terealisasi dalam Program Pijar CT Arsa Foundation. “Tentunya akan disesuaikan dengan karakteristik daerah tempat penempatan saya,” katanya.
(pal/pal)