Jakarta –
Pertengahan tahun ini, aktivis Tuli Surya Sahetapy melontarkan kritik atas atas pendidikan SLB (Sekolah Luar Biasa) di Indonesia. Ia menyayangkan masih adanya guru SLB yang mendiskreditkan pendidikan bahasa isyarat, penjurubahasaan, serta profesi juru bahasa isyarat.
“Bagaimanapun, di sini saya menulis sebagai pemerhati pendidikan Tuli di Indonesia. Anda bisa membahas soal tata krama dan etika, sedangkan saya membahas masa depan anak-anak Tuli agar intelektual mereka mencapai level anda sehingga bisa membaca dan menulis serta bersosialisasi dengan komunitas Tuli sedunia melalui bahasa isyarat,” kata Surya pada akun Instagram @suryasahetapy pada Rabu (5/6/2024) lalu.
“Tetapi kalian justru berani sekali memasang badan yang membatasi akses bahasa isyarat untuk anak-anak. Rasanya perih melihat masa depan mereka,” demikian disampaikan Surya melalui unggahan video berbahasa isyarat.
Kurang Wawasan Pendidikan Komunitas Tuli
Pada detikEdu, Surya menyampaikan permasalahan utama yang ia temui dalam pendidikan SLB di Indonesia. Dosen di National Technical Institute for the Deaf, Rochester Institute of Technology (RIT) Amerika Serikat itu mengatakan profesi guru Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Juru Bahasa Isyarat (JBI) berbeda. Namun, saat ini belum ada program JBI di Indonesia.
Alhasil, menurutnya, masih ada guru SLB yang belum memiliki cukup wawasan terkait pendidikan komunitas Tuli. Di samping itu, masih ada anggapan bahwa JBI harus dari SLB.
“Contoh, banyak orang berpikir bahwa belajar bahasa isyarat cukup 1 kali lalu bisa menjadi JBI, padahal proses jadi JBI sekitar 2 tahun. Banyak diskusi dengan Tuli senior sampai lancar, kemudian belajar menerjemahkan dari bahasa Indonesia ke bahasa isyarat, karena struktur bahasa isyarat dan bahasa Indonesia berbeda,” terangnya.
Kemampuan Literasi Baca-Tulis Rendah, SLB Tak Optimal
Ia berpendapat, rendahnya kemampuan literasi baca-tulis menjadi masalah terbesar dalam kualitas pendidikan di SLB. Untuk itu, perlu ada peningkatan pembelajaran bahasa Indonesia serta bahasa Isyarat bagi warga berkebutuhan khusus di SLB.
Sementara itu, Surya menilai keberadaan SLB belum optimal, termasuk dari jumlah dan kualitas guru, serta kemampuan mengangkat nilai sosial humanistik.
“Salah satu hal yang menyedihkan ketika guru SLB berpikir bahwa semua itu sama dalam aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk penyandang disabilitas. Coba perhatikan gaya berkomunikasi mereka itu pasti berbeda, perlu penyesuaian sosial. Kita perlu memahami bagaimana berkomunikasi dengan para penyandang disabilitas. Jadi, guru SLB tidak bisa berkata bahwa semua sama, itu perlu diluruskan,” jelas Surya.
Perlu Beasiswa Guru Tuli & Sekolah Tuli
Ia menegaskan, pemerintah perlu melibatkan komunitas Tuli dalam penyiapan guru Tuli dalam menunjang kegiatan belajar dan pengembangan potensi siswa di SLB. Lebih lanjut, pemerintah harus berupaya menyediakan dan memanfaatkan program beasiswa untuk teman Tuli yang punya keinginan atau cita-cita menjadi guru Tuli.
Surya juga menyorot sejumlah potensi sekolah Tuli jika didirikan bagi teman Tuli di RI. Sebab, guru SLB biasanya merupakan guru Dengar, sedangkan guru sekolah Tuli adalah guru Tuli.
Adanya sekolah Tuli menurut Surya juga memungkinkan siswa fokus pada pendidikan Tuli.
“Sekolah Tuli (di AS) memfokuskan pada kemampuan visualnya, juga kini fokus pada pengajaran bahasa isyarat, bahasa Inggris, dan sejarah lainnya yang berkaitan dengan pendidikan Tuli,” terangnya.
Sebagai bagian masyarakat, Surya berpesan agar bersama-sama terus mendukung isu pendidikan Tuli di Indonesia.
“Salah satunya melalui aksi nyata yang ditujukan untuk mengadvokasikan pendidikan bahasa isyarat. Contohnya, jika di semua pelayanan publik dapat berbahasa isyarat maka hak penyandang disabilitas Tuli untuk mendapatkan fasilitas dan akses dapat terpenuhi,” pungkas Surya.
(twu/twu)