Vicenza –
Empat kali berturut-turut saya menjalani Ramadan di perantauan, tiga tahun pertama di Taiwan ketika saya menempuh pendidikan S1 di Cheng Shiu University dan kini beralih ke Tanah Romawi. Tinggal di sebuah kota yang tak terlalu besar bernama Vicenza, jaraknya kurang lebih sekitar dua jam perjalanan dari Kota Milan, membuat kesan tersendiri saat menunaikan ibadah puasa di tahun ini.
Perbedaan Puasa di Taiwan dan Italia
Tahun lalu, saya masih menjalani Ramadan bersama teman-teman sesama perantau di Taiwan. Kami tinggal di sebuah asrama kampus yang berada di Kota Kaohsiung, kota kedua terbesar di Negeri Formosa. Pada tiap sudut jalanan, mudah sekali bertemu orang Indonesia karena begitu banyak jumlah diaspora yang merantau di sana. Bahkan, kami membuat jamaah tarawih sendiri di lobi dasar asrama kami setiap harinya dan tak jarang juga berbuka bersama. Kenangan lain yang dirindukan adalah adanya warung makan Indonesia yang menjual santapan khas berbagai daerah, mulai dari Jawa, Sunda, hingga Bangka Belitung.
Beranjak menuju peralihan musim dingin ke musim semi pertama selama di Italia, matahari bersinar cukup terik pada siang hari namun udara masih terasa dingin saat malam tiba. Kegiatan perkuliahan semester genap ini tergolong padat, sebab di beberapa hari perkuliahan banyak dimulai pukul 08.30 CET (Central European Time) dan berakhir beberapa saat usai terbenamnya matahari kisaran pukul 18.30 CET.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi jalanan di sini tak seramai kota-kota besar di Indonesia, bahkan aktivitas harian perlahan mulai mereda setelah pukul 20.00 waktu setempat. Kedai makanan, swalayan, coffee shop, dan banyak tempat lain tutup tak terlalu larut malam.
Belanja Kebutuhan di Toko Halal Asia Afrika
Di kota tempat saya tinggal, cukup banyak toko halal yang menjual kebutuhan pokok seperti beras, daging ayam, daging sapi, ikan, telur, susu, dan lain-lain. Waktu berada di Taiwan kemarin, saya masih sering menjumpai toko yang memang menjual barang-barang dari Indonesia. Namun, saya baru menyadari bahwa sedang tinggal di suatu negara yang sangat jauh dari kampung halaman adalah ketika melihat nama toko “Asia Afrika”. Wajar saja, jarak antara Italia dan Indonesia adalah 12.000 kilometer dengan perbedaan waktu enam jam dan sudah berada pada benua yang berbeda.
Walaupun demikian, Italia sebenarnya tergolong salah satu negara di Eropa dengan biaya hidup yang cukup terjangkau untuk mahasiswa. Berdasar pengalaman pribadi, kami biasanya cukup menghabiskan 100-200 euro (kisaran Rp1,7 juta sampai dengan Rp3,4 juta) untuk belanja kebutuhan makanan pokok di Toko Halal Asia Afrika atau swalayan terdekat selama sebulan di luar tanggungan akomodasi.
Buka Bersama dan Tarawih di Masjid
Berada di lingkungan minoritas tak membuat semangat beribadah menurun. Berdasar hasil riset dari Pew Research Center, penduduk muslim di Italia kurang lebih sebesar 2,87 juta jiwa. Jumlah tersebut bisa dikategorikan cukup banyak apabila dibandingkan dengan penduduk Muslim di negara Eropa lainnya. Namun, ketika kita sandingkan dengan total populasi di Italia yang mencapai 59 juta jiwa, hal itu berararti penduduk muslim hanya berada pada angka 4,86 persen saja.
Beruntungnya, saya masih memiliki beberapa teman dari Bangladesh, India, dan Pakistan yang juga berpuasa. Kami biasanya pergi tarawih bersama di masjid kecil yang lokasinya berada tak jauh dari apartemen tempat kami tinggal. Di sini, mayoritas jamaah berasal dari kawasan Afrika dan juga Timur Tengah. Namun demikian, mereka sangat ramah dan menyambut kami dengan hangat.
Pihak pengelola di masjid yang biasa kami datangi juga menyediakan makanan dan takjil gratis bagi jamaah yang ingin berbuka bersama. Menu yang biasanya dihidangkan biasanya berasal dari sajian-sajian khas Timur Tengah yang kaya rempah dengan porsi besar tentunya, mulai dari nasi biryani, nasi mandi, kurma, dan lain sebagainya. Sistemnya adalah ada satu loyang besar di tengah, kemudian kita duduk melingkar sekitar enam orang lalu menyantap buka bersama.
Makna Ramadan di Tanah Perantauan
Terlepas dari fenomena sosial #KaburAjaDulu yang sedang hangat menjadi perbincangan di media sosial maupun kehidupan nyata, hidup merantau akan mengajarkan kita untuk mandiri dan tangguh terhadap segala tantangan yang dihadapi. Apalagi saat menunaikan ibadah puasa seperti sekarang ini, memberikan kesempatan kita untuk bisa lebih memaknai secara mendalam dari hikmah di bulan Ramadan. Puasa bukan hanya persoalan menahan haus dan lapar saja, melainkan juga bagaimana menjadi bentuk latihan untuk membatasi kenyamanan yang sudah selama berbulan-bulan sebelumnya dalam setahun kita nikmati secara cuma-cuma.
Dengan berpuasa di tanah perantauan juga bisa menjadi titik awal kita untuk menjalin hubungan baik sesama manusia dari lintas negara. Apapun alasan kita memilih untuk hidup merantau, entah itu urusan pendidikan atau pekerjaan, yakinlah pasti ada kesuksesan luar biasa yang sedang menanti kita di ujung sana. Perantauan tidak sekadar jarak dari kampung halaman, tetapi juga perjalanan menemukan diri sendiri. Ramadan di negeri orang mengajarkan kita bahwa di setiap tempat akan selalu ada cara untuk merayakan kebersamaan dan menggapai keberkahan.
Ridha Bahrul Ulum
Mahasiswa S2 Jurusan Management Engineering
University of Padua
PPI Italia
Artikel ini merupakan kolaborasi detikEdu dengan PPI Dunia. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih – Redaksi)
(nwk/nwk)