Jakarta –
Sejak awal serangan Israel ke Palestina pada 7 Oktober 2023, anak-anak menjadi korban yang paling terdampak. Mereka terpaksa harus putus sekolah, kehilangan keluarga dan temannya, hingga mengalami trauma psikologis yang mengerikan.
Pada 25 September 2024 lalu, Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) melaporkan bahwa lebih dari 625.000 anak usia sekolah mengalami trauma mendalam di Gaza.
Sebelumnya, Kementerian Pendidikan Palestina menyebutkan bahwa sekitar 630.000 siswa terpaksa harus putus sekolah sejak awal konflik terjadi. Ini karena serangan Israel telah membuat banyak bangunan termasuk sekolah hancur dan membuat anak-anak yang selamat harus mengungsi.
Tidak hanya di Gaza, UNRWA melaporkan bahwa banyak anak-anak di Tepi Barat yang juga mengalami penderitaan kehidupan dan pendidikan mereka.
“Anak-anak Palestina di Gaza dan Tepi Barat telah menderita kerugian besar sejak dimulainya agresi Israel di Gaza hampir setahun lalu,” lapor UNRWA, sebagaimana dikutip dari WAFA News Agency.
Anak-anak Melihat Keluarga dan Teman-temannya Meninggal
Berdasarkan laporan terbaru, yang dikutip dari AFP (27/9) jumlah korban tewas di Palestina akibat serangan Israel telah mencapai 41.495. Sekitar 16.000 korban di antaranya adalah anak-anak.
Bagi anak-anak yang selamat, mereka terpaksa harus mengungsi dan melihat bagaimana wilayah mereka hancur, serta keluarga dan juga teman mereka meninggal. Kondisi ini membuat anak-anak yang selamat dari Gaza mengalami trauma psikologis berat, di samping luka-luka fisik yang juga mereka dapatkan.
Seorang psikolog asal Gaza yang kini bekerja untuk anak-anak pengungsi di Amerika Serikat, Iman Farajallah, mengatakan bahwa dia menyaksikan langsung pemberontakan Palestina melawan pendudukan Israel di Gaza dan Tepi Barat pada 1987-an.
“Pengalaman ini sangat kejam, sangat menakutkan, sangat berbahaya sehingga tidak ada kata-kata yang dapat Anda gambarkan,” ucapnya dalam NPR, dikutip Jumat (27/9/2024).
Dalam beberapa tahun terakhir, Farajallah kembali ke Gaza untuk berbicara dengan anak-anak dan keluarga mereka. Dia bisa langsung melihat bagaimana kekerasan telah memengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka.
“Banyak anak bergelut dengan gejala trauma fisik. Banyak dari mereka yang terkena dampak bom. Jadi mereka punya bekas luka. Ada serpihan dan pecahan di tubuhnya. Beberapa dari mereka [telah] kehilangan anggota tubuh, beberapa dari mereka kehilangan penglihatan,” tuturnya.
Kondisi fisik yang sangat menderita itu masih ditambah dengan berbagai gejala kesehatan mental dan perilaku ketakutan akan gelap, panik, mimpi buruk, kesulitan tidur, hingga kenangan akan trauma mereka.
Selama bertahun-tahun, sebelum 7 Oktober 2023, serangan Israel telah lama mengancam kesehatan mental anak-anak di Palestina. Studi sebelum 2021 hingga 2022 telah menemukan bahwa 80% anak-anak di Gaza menunjukkan tekanan emosional.
Setengah dari 500 anak bahkan pernah berpikir untuk bunuh diri dan tiga dari lima anak melakukan tindakan menyakiti diri sendiri. Sementara empat dari lima anak, melaporkan bahwa mereka hidup dalam depresi, ketakutan, dan kesedihan.
Jadi dengan kondisi sebelum 7 Oktober 2023, anak-anak sudah terancam dengan serangkaian serangan Israel. Hal tersebut diperparah dengan serangan yang terjadi satu tahun terakhir ini.
Apakah Anak-anak di Palestina Bisa Selamat?
Profesor psikologi di Bowling Green State University, Amerika Serikat, Eric Dubow, pernah melaporkan dalam penelitiannya bahwa konflik yang terus berlanjut di Palestina hanya memperburuk keadaan.
Menurutnya, anak-anak di Gaza telah memiliki risiko lebih besar mengalami stres pasca-trauma jangka panjang dan masalah kesehatan mental lainnya.
“Hampir tidak terbayangkan memikirkan apa yang terjadi pada anak-anak di sana. Yang paling dibutuhkan anak-anak di Gaza adalah rasa aman. Ini adalah bagian dari apa yang dikenal sebagai ‘pertolongan pertama psikologis’,” kata Boxer.
Langkah pertama untuk membuat kondisi aman adalah memastikan anak-anak mendapat kehangatan, pakaian, dan makanan, serta tetap mendapatkan keamanan secara fisik.
“Hanya dengan cara ini, mereka dapat menerima perawatan untuk meminimalkan dampak kesehatan mental jangka panjang dari apa yang mereka alami dalam beberapa minggu terakhir,” imbuhnya.
Sementara itu Farajallah mengatakan bahwa layanan kesehatan mental saja memang tidak dapat menyembuhkan anak-anak di Gaza. Sebab, banyak anak-anak Gaza meskipun didampingi, mereka akan khawatir dan takut terhadap potensi ancaman ke depan.
“Saat Anda bekerja dengan seorang anak, dia akan bertanya kepada Anda, ‘tetapi bagaimana jika terjadi perang lagi? Bisakah Anda melindungi saya? Bisakah Anda melindungi orang tua saya?’,” ujarnya.
“Jawaban kami adalah ‘tidak, kami tidak bisa’,” lanjut Farajallah.
Sampai saat ini, kondisi di Palestina masih belum aman. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendukung resolusi untuk diakhirinya pendudukan Israel di wilayah Palestina pada 18 September 2024 lalu. Sebanyak 124 negara mendukung resolusi, 14 negara menolak, dan 43 negara abstain.
Resolusi tersebut menuntut secara hukum bahwa Israel harus segera pergi dari wilayah Palestina karena melanggar hukum. Resolusi juga menyerukan bahwa Israel harus menarik diri dari wilayah Palestina selambat-lambatnya 12 bulan sejak resolusi itu diadopsi.
(faz/nwy)