Jakarta –
Sebuah studi dari tim peneliti University of Oxford menunjukkan bahwa mahasiswa yang kembali ke negara asal usai belajar di luar negeri dapat mengurangi kemiskinan ekstrem. Dampak ini muncul dalam jangka panjang bagi negara asal yang berpenghasilan rendah dan menengah.
Hasil studi Profesor Maia Chankseliani, seorang pakar Pendidikan Komparatif dan Internasional, bersama peneliti pascadoktoral Joonghyun Kwak dari Departemen Pendidikan, University of Oxford tersebut berangkat dari analisis pada data 2 dekade. Karya ilmiah mereka dipublikasi di jurnal International Journal of Educational Research.
Dampak Jangka Panjang
Chankseliani mengatakan, dampak jangka pendek mobilitas mahasiswa internasional terhadap pengentasan kemiskinan tidak signifikan. Namun, dalam 15 tahun atau dalam jangka panjang, mahasiswa yang belajar di luar negeri dan pulang ke Tanah air dapat berdampak positif dalam penurunan tingkat kemiskinan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Para mahasiswa yang kembali membawa pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh di luar negeri dapat mendorong inovasi lokal dan berkontribusi pada perubahan masyarakat. Keterampilan dan pengetahuan ini dapat mengentaskan kemiskinan sistematik dari waktu ke waktu,” kata Chankseliani, dikutip dari laman resmi kampus.
Kwak menjelaskan, baik keterampilan, pengetahuan, dan koneksi yang diperoleh di luar negeri sering kali menghasilkan perubahan setelah para mahasiswa lulus dan kembali memiliki waktu untuk menerapkannya dalam konteks mereka masing-masing.
Pada masa tersebut, para anak yang telah mengecap pendidikan luar negeri dapat memperkenalkan praktik dan inovasi baru di berbagai bidang. Termasuk dalam hal tata kelola, pendidikan, dan pembangunan ekonomi.
“Kami berharap makalah ini akan mendorong para pembuat kebijakan untuk mengakui peran penting pendidikan internasional dalam pembangunan. Hal ini dapat mengarah pada dukungan yang lebih besar untuk beasiswa dan inisiatif yang memungkinkan mahasiswa dari negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk belajar di luar negeri,” ucapnya.
Kwak mengatakan, mobilisasi mahasiswa untuk belajar di luar negeri juga merespons kualitas sistem pendidikan dalam negeri yang belum sebanding dengan negara maju, terutama soal hal yang diajarkan.
“Dalam hal ini, mereka yang belajar di luar negeri membawa pulang pengetahuan, keterampilan, dan koneksi internasional baru. Hal ini membantu mengisi kekurangan di negara asal mereka dan mendukung upaya pengentasan kemiskinan,” ucapnya.
Di sisi lain, ia berharap studi ini mendorong pemangku kepentingan juga meningkatkan kualitas sistem pendidikan dalam negeri di samping melanjutkan pemberian beasiswa.
“Dengan meningkatkan akses ke pendidikan internasional dan memperkuat sistem pendidikan lokal, kita bisa memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan berkelanjutan di negara-negara ini,” ucapnya.
Pemilik Dana Jangan Ragu Beri Beasiswa LN
Mobilitas pelajar internasional meningkat tiga kali lipat dari sekitar dua juta pelajar pada 1997 menjadi lebih dari enam juta pada 2021. Lonjakan ini mencerminkan semakin diakuinya nilai belajar di luar negeri, baik untuk kemajuan individu maupun pembangunan masyarakat.
Kini banyak pihak juga menawarkan beasiswa bagi siapa saja yang ingin mengenyam pendidikan di luar negeri, seperti pemerintah, universitas, lembaga amal, dan perusahaan swasta. Namun dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan sentimen nasional di beberapa negara menghambat pendidikan dan kerja sama internasional.
Peneliti menilai, hasil studi mereka dapat merespons fenomena tersebut dengan menunjukkan manfaat jangka panjang pendidikan internasional bagi individu maupin bagi pembangunan global.
“Memahami dampak ini bisa membantu mengarahkan kebijakan yang memastikan pertukaran pendidikan tetap terbuka dan dapat diakses, meskipun di dunia yang semakin terfokus pada kepentingan dalam negeri,” kata para peneliti.
Kwak juga menekankan pentingnya memperbanyak beasiswa untuk meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Mengingat biaya kuliah di luar negeri hanya dapat dijangkau mahasiswa kaya, peningkatan beasiswa targeted dapat membantu membuka peluang bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi lebih rendah.
(twu/twu)