Jakarta –
Kabar artificial intelligence (AI) akan menjadi mata pelajaran pilihan di SD dan SMP semakin menyeruak dan menuai tanggapan dari banyak pakar. Termasuk pakar pendidikan hingga teknologi informasi.
Salah satunya, Bahrul Hayat,PhD pakar pendidikan sekaligus Wakil Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Ia menyambut kebijakan mapel pilihan AI di SD karena menurutnya dapat mengasah kemampuan adaptasi siswa.
Namun, ia menyoroti cara bagaimana guru nantinya mengajarkan AI kepada siswa. Menurutnya, guru harus lebih dahulu mahir menggunakan teknologi digital sebelum siswa yang diajari.
“Jangan dibayangkan lima tahun ke depan kondisi sama. Maka kemampuan adaptability adalah kompetensi guru yang harus diutamakan,” katanya dalam seminar “Transformasi Pendidikan untuk Mempertahankan Nilai Budaya di Era Modernisasi” di Gedung Auditorium UIN Syarif Hidayatullah, Jumat (22/11).
Menurutnya, di era AI, peran pendidikan akan bergeser dari hanya sekadar transmisi pengetahuan dan keterampilan menjadi pengembangan kemampuan adaptasi, kreativitas, dan kolaborasi peserta didik untuk hidup di lingkungan yang terus berubah.
“Abad 21 ditandai dengan periode perkembangan dan penerapan teknologi AI yang meluas dalam berbagai aspek kehidupan dan menjadi komponen kunci dalam mendorong inovasi dan transformasi di berbagai sektor,” katanya.
Tantangan Pengadaan Mapel AI di Sekolah
Menurutnya, untuk membuat AI efektif dalam mengasah kemampuan siswa, maka sistem pendidikannya harus diperhatikan terlebih dahulu. Pasalnya, sistem pendidikan adalah tantangan terbesar bagi setiap negara.
“Mengurus pendidikan di Indonesia adalah tidak mudah. Pertama karena, ini merupakan sistem terbesar di dunia,” katanya.
Bahrul mengatakan bahwa transformasi pendidikan adalah keniscayaan. Perubahan kebutuhan digital di sekolah pasti selalu ada.
Lebih jauhnya, transformasi juga tak hanya identik dengan teknologi. Akan tetapi, sekolah juga harus menyorot transformasi budaya yang akan diteruskan ke generasi berikutnya.
“Pendidikan adalah alat untuk memproduksi budaya. Kita harus merepetisikan budaya dan mentransformasikan budaya,” tuturnya.
Aplikasi Mapel AI yang Efektif
Selain Bahrul, hadir juga Nisa Felicia sebagai Direktur Eksekutif, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), sebuah yayasan non-profit independen yang berfokus pada penguatan kebijakan pembelajaran yang berpihak pada anak.
Dari ragam kajian yang ia lakukan ia mendapati bahwa salah satu hal yang harus ditinggalkan oleh guru menyambut mapel AI ini adalah controlling. Hal tersebut bisa menghambat siswa mengembangkan kemampuan digitalnya.
“Ada beberapa guru yang masih menganggap mengajar adalah control. Misalnya tak boleh memakai kalkulator, memakai ChatGPT, seolah-olah guru bisa mengontrol penuh anak didiknya, stop mengikat,” tegasnya.
Alih-alih membuat siswa mahir berteknologi, Nisa mengatakan guru pun harus sama pandai. Bahkan, jika bisa lebih dahulu mahir dari siswa sehingga siswa bisa mencontoh mereka.
“Yang harus dilakukan adalah bagaimana kita menggunakan teknologi yang ada, bagaimana saya terbantu dengan teknologi yang ada,” katanya.
Dalam membuat model pembelajaran AI pun guru harus tanggap terhadap kebaruan tugas. Guru harus lebih kreatif dalam membuat tugas di era gempuran AI yang bisa jadi jalan pintas siswa ini.
“Kalau dulu membuat tugasnya esai dan bisa dibantu oleh AI, tapi sekarang suruh mereka membuat esai menggunakan AI dan kritisi jawaban esai versi AI tersebut,” bebernya memberi contoh.
Ia juga mengimbau guru untuk tidak lekas melupakan hubungan interpersonal dengan siswa. Menurutnya, AI malah bisa memberi ruang baru bagi guru memaksimalkan kedekatan dengan siswa.
“Hubungan kemanusiaan antara guru dan murid yang justru kita harus melihat oh pekerjaan saya untuk memeriksa ujian itu bisa digantikan oleh teknologi, maka waktu yang sekarang saya miliki bisa dimanfaatkan untuk mengobrol dengan para siswa saya,” tuturnya.
Ia menyebut ada hal yang lebih penting dari belajar AI yakni literasi. Literasi adalah kunci belajar sepanjang hayat. Lewat literasi siswa akan bisa belajar literasi lain, seperti literasi digital atau literasi keuangan.
“Jangan pernah meremehkan tentang literasi, metode ini menuntut kita belajar sepanjang hayat. Jadi guru harus bisa membuat murid senang belajar,” ungkapnya.
(cyu/nwk)