Jakarta –
Pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia berada dalam fase transisi besar menuju industrialisasi yang dikenal sebagai ‘tinggal landas’. Era ini didorong oleh visi besar Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), menekankan pentingnya penguatan industri dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tujuannya jelas, Indonesia ingin mengurangi ketergantungan pada sektor pertanian dan mengarahkan pembangunan nasional ke arah industri.
Indonesia kala itu menyusun strategi untuk menjadi negara industri modern dengan memanfaatkan potensi besar dalam sumber daya alam dan manusia. Ekonomi tumbuh rata-rata 7% per tahun pada dekade 1980-an, memicu pemerintah mengembangkan proyek strategis seperti industri pesawat terbang, pembuatan kapal, serta industri kimia dasar dan manufaktur. Pembangunan ini didukung oleh sinergi antara pendidikan dan pengembangan industri. Ini adalah langkah awal untuk membangun teknokrasi mahasiswa, di mana pendidikan vokasional seperti politeknik mulai menjadi fokus.
Di era tersebut, banyak pelajar Indonesia dikirim ke luar negeri, terutama ke Jerman dan Belanda, untuk menimba ilmu di bidang-bidang yang berhubungan dengan industri strategis seperti pesawat terbang dan perkapalan. Pemerintah juga mendirikan Politeknik di universitas-universitas terkemuka, seperti Universitas Sumatera Utara, Universitas Sriwijaya, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Diponegoro, dan Universitas Brawijaya untuk mendukung visi ini. Politeknik ini dirancang guna menghasilkan tenaga kerja terampil yang langsung siap berkontribusi di sektor industri. Pada masa itu, lulusan SMA bercita-cita bekerja di perusahaan besar seperti PT Dirgantara Indonesia dan PT PAL Indonesia, mencerminkan orientasi yang kuat terhadap industri nasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, orientasi ini meski membawa keuntungan signifikan pada masa itu kurang memberi ruang bagi kreativitas dan inovasi. Pola pikir ‘bekerja untuk industri besar’ mendominasi, dan teknokrasi mahasiswa lebih berfokus pada penguasaan teknologi yang ada ketimbang menciptakan teknologi baru. Keahlian teknis menjadi prioritas, sementara inovasi dan kreativitas belum menjadi sorotan utama dalam pendidikan tinggi.
Kini, perubahan besar terjadi di dunia kerja. Era revolusi industri 5.0 dan ekonomi digital menuntut orientasi karier yang berbeda. Pekerjaan yang mengandalkan rutinitas di sektor industri besar kini digantikan oleh kebutuhan akan kreativitas, pemecahan masalah, dan inovasi. Teknologi baru dan otomatisasi memaksa tenaga kerja untuk terus beradaptasi. Di sinilah pentingnya membangun teknokrasi mahasiswa yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu berpikir kritis, berinovasi, dan menciptakan solusi baru.
Sayangnya, kebijakan pemerintah saat ini tampak tertinggal dalam menyiapkan generasi muda untuk menghadapi perubahan tersebut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurun dari 29,6% di tahun 2000 menjadi sekitar 19% pada tahun 2020. Ini mencerminkan bahwa sektor industri tradisional mulai kehilangan relevansi. Di sisi lain, sektor kreatif dan teknologi digital terus tumbuh, namun ekosistem pendidikan yang mendukung inovasi masih belum terbentuk secara optimal.
Jumlah perusahaan yang tutup atau bangkrut selama lima tahun terakhir menjadi bukti bahwa banyak industri tradisional kesulitan beradaptasi. Pada tahun 2020, sekitar 1.500 perusahaan tutup akibat pandemi, dan hingga akhir 2021, sekitar 30% dari 32.000 perusahaan manufaktur mengalami penurunan kinerja yang signifikan, dengan beberapa bahkan berhenti beroperasi. Perusahaan-perusahaan ini gagal mengikuti perubahan teknologi dan bisnis, yang menunjukkan bahwa daya saing serta inovasi masih menjadi tantangan.
Sebaliknya, startup teknologi dan industri kreatif justru mengalami pertumbuhan pesat. Mereka menekankan pentingnya inovasi sebagai inti dari model bisnis mereka. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa teknokrasi mahasiswa yang hanya dibekali kemampuan teknis tidak lagi cukup. Generasi mahasiswa saat ini perlu diarahkan untuk mampu berinovasi, berpikir kritis, dan adaptif terhadap perubahan.
Dalam konteks ini, membangun ekosistem pendidikan yang lebih kreatif dan inovatif menjadi semakin penting. Pendidikan tinggi, termasuk politeknik, perlu mereformasi kurikulumnya agar sesuai dengan tuntutan zaman. Jika pada era tinggal landas lulusan diarahkan untuk menjadi teknisi di industri besar, kini mereka harus dibekali dengan kemampuan berpikir holistik, menciptakan teknologi baru, dan memecahkan masalah kompleks. Lulusan saat ini harus siap menghadapi dunia kerja yang menuntut kreativitas dan inovasi di berbagai sektor.
Ironisnya, pemerintah masih berfokus pada orientasi karier yang mengarahkan lulusan perguruan tinggi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bekerja di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurut BPS, jumlah PNS pada 2021 mencapai sekitar 4,3 juta, dan ribuan lulusan baru mengikuti seleksi CPNS setiap tahunnya. Orientasi ini menunjukkan bahwa potensi kreatif generasi muda belum dimanfaatkan secara maksimal, karena mereka lebih diarahkan menjadi bagian dari birokrasi daripada inovator dan pencipta di sektor-sektor dinamis.
Pada akhirnya, untuk membangun teknokrasi mahasiswa yang siap menghadapi masa depan, pemerintah harus berinvestasi dalam pendidikan yang memupuk kreativitas, inovasi, dan jiwa kewirausahaan, dan itu ada pada pendidikan tinggi vokasi seperti politeknik. Kebijakan yang menekankan pengembangan SDM yang adaptif dan inovatif sangat penting untuk membangun ekosistem industri yang kompetitif di kancah global. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat bergerak maju dari sekadar negara industri berbasis sumber daya alam menjadi negara yang mengandalkan kreativitas dan inovasi generasi muda.
Agung Hendarto, Direktur Politeknik Harapan Bersama, Pengurus Pusat Perkumpulan Politeknik Swasta (PELITA) Indonesia.
(Content Promotion/Politeknik Harapan Bersama)