Jakarta –
Opsi menu serangga di Makan Bergizi Gratis (MBG) disampaikan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana beberapa waktu lalu. Ia mengatakan opsi menu ini akan dibuka di wilayah dengan penduduk yang sudah biasa mengonsumsinya.
“Menu makanan bergizi gratis tidak kami tetapkan secara nasional, yang terpenting 30 persen protein, 40 persen karbohidrat, dan 30 persen serat. Oleh karena itu, di setiap satuan pelayanan kami merekrut ahli gizi untuk menyusun menu berbasis sumber pangan lokal,” kata Dadan kepada detikcom, Jumat (31/1/2025), yang dilansir detikHealth, Jumat (7/2/2025).
“30 persen protein sumbernya tidak perlu selalu sama, misalnya di satu daerah banyak telur, pakai telur. Daerah lain ayam, dan daerah lainnya lebih banyak ikan, jadi sumbernya tergantung kearifan lokal dan mungkin saja ada daerah yang sangat suka serangga,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kandungan Gizi Serangga
Merespons opsi menu serangga di program MBG, Dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Lailatul Muniroh S K M, M Kes, mengatakan, pemerintah harus mempertimbangkan faktor budaya, psikologis, dan keamanan pangan di samping faktor gizi.
Laila mengatakan kandungan gizi serangga antara lain protein. Kadar protein per 100 gram serangga lebih tinggi daripada daging sapi dan daging ayam.
Selain itu, serangga juga kaya asam amino esensial dan asam lemak tak jenuh seperti omega 3 dan omega 6. Namun, butuh serangga dalam porsi banyak untuk mencapai kadar nutrisi tersebut.
“Penting untuk digarisbawahi, bahwa jumlah atau porsi diperlukan dalam jumlah yang banyak untuk memenuhi kebutuhan protein tersebut,” jelas Laila dalam laman Unair, dikutip Jumat (7/2/2025).
Standar Keamanan Menu Serangga
Laila juga menyorot isu standar keamanan dan regulasi pangan pada serangga untuk menjadi bahan makanan. Ia menggarisbawahi, UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan belum menjelaskan dengan rinci terkait serangga.
Laila juga menyinggung terkait potensi alergi dan keamanan konsumsi serangga. Sebab, UU Pangan tidak memberikan penjelasan terkait serangga sebagai komoditas pangan.
“Undang-undang pangan kita belum ada penjelasan detail terkait serangga, bagaimana memastikan keamanan pangannya?” tuturnya.
Sementara itu, ia mengamini adanya Peraturan Kepala BPOM No 13 Tahun 2016. Namun, berdasarkan peraturan tersebut, produk berbasis serangga perlu melalui evaluasi BPOM sebelum mendapatkan izin untuk beredar sebagai makanan.
“Beberapa peraturan terkait standar keamanan pangan dan novel food (bahan pangan baru) sudah ada, seperti Peraturan Kepala BPOM No 13 Tahun 2016 tentang pangan olahan yang mengandung bahan pangan baru,” ucapnya.
Pengolahan makanan berbahan serangga sendiri contohnya dalam bentuk tepung protein serangga. Tepung ini dapat diolah menjadi berbagai makanan atau produk olahan lainnya.
Laila menjelaskan, inovasi pengolahan serangga ini salah satunya perlu dalam merespons masalah penerimaan masyarakat atas menu serangga di program Makan Bergizi Gratis.
Faktor Penerimaan Masyarakat
Laila mengatakan penerimaan pada serangga sebagai makanan sehari-hari dipengaruhi oleh faktor budaya, psikologis, sosial, dan ekonomi. Maka wajar, bila sebagian penduduk Indonesia tidak menganggap serangga bisa dimakan serta menolak kemunculan opsi menu serangga.
Dia menekankan, kebijakan ini harus benar-benar bertujuan untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat, bukan sekadar program formalitas tanpa manfaat maksimal.
Untuk itu, ia berharap pemerintah dapat menyusun regulasi yang jelas mengenai konsumsi serangga. Kemudian, masyarakat perlu diedukasi mengenai manfaatnya.
Pemerintah juga perlu berinovasi dalam mengembangkan produk berbasis serangga. Ekosistem budidaya serangga skala UMKM menurut Laila juga perlu didorong agar penyediaan bahan bakunya berkelanjutan.
“Jangan sampai program MBG ini hanya sekadar menjalankan program, tanpa ada niatan memberikan yang terbaik untuk masyarakat. Jangan sampai program MBG ini hanya sekadar program bagi-bagi makanan,” tutupnya.
(twu/faz)