Jakarta –
Banyak orang akan menyebut bahwa menggunakan transportasi ramah lingkungan, menanam pohon, hingga beralih ke energi terbarukan adalah cara untuk mengurangi pemanasan global. Nyatanya, itu memang benar.
Namun, benarkah pakan ternak juga bisa menyelamatkan bumi dari pemanasan global?
“Saya yakin bisa,” ucap peneliti dari Fakultas Peternakan (Fapet) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Ir Nafiatul Umami, SPt MP PhD IPM ASEAN Eng.
Keyakinan ini datang bukan tanpa alasan. Nafiatul, begitu ia akrab disapa, merupakan seorang peneliti yang telah menghasilkan inovasi riset “Rumput Gama Umami”. Itu adalah hasil mutasi dari rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang telah diradiasi dengan sinar gamma.
Penelitian yang telah dimulai sejak 2017 ini berhasil meraih penghargaan Indolivestock Research and Innovation Awards 2024, sebuah kompetisi riset yang diinisiasi oleh Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YPPI). Rumput Gama Umami bersaing dengan 61 karya penelitian lain dari 24 perguruan tinggi negeri dan swasta, yang melibatkan 20 dosen bergelar magister, 24 doktor dan 22 profesor.
Gas-gas Rumah Kaca dan Kaitannya dengan Peternakan
Saat ini, Indonesia termasuk ke dalam enam besar negara penghasil emisi karbon dioksida (CO₂) tertinggi di dunia. Laporan ini dikeluarkan oleh Basis Data Emisi untuk Penelitian Atmosfer Global atau Emissions Database for Global Atmospheric Research tahun 2022-2023.
Gas CO₂ adalah pemicu terjadinya pemanasan global. Seiring bertambahnya CO₂ di udara atau atmosfer, perubahan iklim akan terus terjadi. Pada gilirannya, ini bisa membuat rata-rata suhu global menjadi semakin panas.
Untuk diketahui, bahwa emisi gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia di bumi menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer. Selain karbon dioksida, gas-gas rumah kaca juga berupa belerang dioksida (SO₂), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO₂), gas metana (CH₄), dan klorofluorokarbon (CFC).
Secara keseluruhan, pengurangan pelepasan gas-gas rumah harus terus diupayakan. Namun, selama ini banyak yang hanya fokus kepada pengurangan besar untuk CO₂. Seperti menggunakan energi bersih, transportasi yang efisien, hingga penanaman pohon.
Di sisi lain, mungkin pengurangan untuk gas metana, tidak segamblang itu. Padahal, studi menunjukkan, gas metana di atmosfer berperan menangkap panas 20 kali lebih banyak dibandingkan karbon dioksida.
Metana atau CH₄ ini berasal dari produksi gas alam, dan minyak bumi, serta dari pembusukan limbah organik. Gas ini dikeluarkan oleh ternak ruminansia, terutama hewan memamah biak seperti sapi.
Sebagai informasi, bahwa sapi, kambing, domba, adalah hewan yang disebut ruminansia, yang berarti sistem pencernaannya yang unik. Hewan ruminansia seperti sapi memiliki bagian perut, rumen yang dihuni berbagai mikroba dan bergantung pada banyak makanan.
Mikroba tersebut bertugas untuk memecah selulosa pada dinding sel tumbuhan, sehingga nutrien dalam tumbuhan dapat dimanfaatkan untuk proses metabolisme sapi.
Sederhananya, dalam proses pemecahan selulosa ini, terjadi fermentasi yang kemudian menghasilkan gas metana. Gas ini biasanya dikeluarkan oleh hewan ruminansia melalui kentut atau sendawa serta feses. Gas metana ini yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global.
Jadi sudah bisa terlihat kaitannya, bahwa gas metana yang dihasilkan dari hasil sistem pencernaan hewan ruminansia, juga dipengaruhi oleh pakannya.
Kondisi Pakan Ternak di Indonesia
Sekilas mungkin tak ada yang mengira bahwa inovasi rumput bisa ikut menyelamatkan bumi. Namun, ternyata rumput bisa menjadi awal mula keyakinan, bahwa dunia peternakan bisa menjaga lingkungan sebagaimana mestinya.
Jika melihat kondisi pakan ternak di Indonesia saat ini, ada beberapa catatan yang menjadi perhatian Nafiatul. Salah satunya soal kualitas yang masih di level menengah hingga rendah.
“Kita penting untuk memikirkan pakan ruminansia, karena memang Indonesia boleh dikatakan, (punya) daerah yang memiliki tropik (base-nya) oke. Rumput di tropik itu biasanya dia memiliki kelemahan dengan quality-nya yang rendah sampai middle. Itu sudah menjadi umum,” ungkapnya kepada detikEdu, saat ditemui di Gedung Animal Science Learning Center (ASLC) Fapet UGM, Jumat (26/7/2024).
Prof. Ir. Nafiatul Umami, S.Pt., MP., Ph.D., IPM., ASEAN Eng. saat memaparkan Inovasi Rumput Gama Umami di Fakultas Peternakan UGM, Jumat (26/7/2024) Foto: Fahri Zulfikar/detikEdu
|
Atas dasar ini, ia kemudian tertarik untuk meningkatkan kualitas pakan ternak dari rumput yang lebih baik.
Ia telah meradiasi rumput gajah dengan sinar gamma dan menghasilkan rumput yang memiliki beberapa keunggulan. Keunggulan rumput gajah itu antara lain produksinya lebih tinggi dalam setahun, produksi biomassa lebih tinggi dengan kandungan gula mereduksi lebih tinggi, dan meningkatkan ketahanan terhadap penyakit.
Inovasi yang telah diteliti sejak 2017 ini, kemudian didaftarkan sebagai varietas baru pada 2021.
“Dan yang penting lagi, ternaknya juga suka. Suka itu bukan (hanya) dari peternak tapi ternaknya juga suka. Sehingga (kita) mencari yang kesukaan di ternaknya tinggi,” katanya.
“Ini salah satu kelebihan (di rumput kita), karena ada sifat crunchy, renyahnya dari Gama Umami, yang kemudian ternak itu suka. Baik itu kambing, domba, maupun sapi. Yang dicari di situ,” imbuh Nafiatul, yang juga Guru Besar dalam bidang Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak.
Bagaimana Pakan Ternak Bisa Ikut Menyelamatkan Bumi?
Nafiatul menjelaskan bahwa dalam dunia peternakan, yang pertama diperhatikan adalah pakan ternaknya. Kemudian lahan untuk menanam pakan, baru ke peningkatan mutu lahan tersebut.
“Kalau bicara dunia peternakan, pertama harus pakan dulu. Pakan ini harus (tahu) kondisi lahan. Ternyata lahan-lahan yang digunakan untuk peternakan (saat ini) kan bukan lahan subur utama. Lahan subur kan biasanya dipakai untuk pertanian,” jelasnya.
“Di lahan-lahan ini, berarti pertama kita kerjakan dengan menanam rumput, salah satunya. Dengan menanam rumput tadi, (bisa) memperbaiki mutu lahan,” ia menambahkan.
Dalam hal ini, pihaknya selalu menyampaikan ke peternak, bahwa Rumput Gama Umami itu termasuk tanaman yang butuh hara. Ini artinya, peternak juga diminta untuk mengembalikan kotoran hewan ke lahan rumputnya.
“Kotoran selalu kami minta ke peternak, kembalikan ke lahan rumputnya. Itu kalau pengin produksi (rumput) stabil. Begitu ada ternak dengan kualitas pakan baik, harapannya kualitas pakan ini daya cernanya akan bagus,” papar Nafiatul.
Menurutnya, apabila daya cerna pakan bagus, maka akan menurunkan emisi dari gas metana, salah satunya.
“Nah, metana yang tidak banyak diproduksi tentu akan berhubungan dengan global warming dan seterusnya,” tambahnya.
Nantinya, siklus ini akan bergerak terus menerus. Pada gilirannya, akan memberikan dampak yang lain, seperti bisa menghasilkan produk susu dan daging yang lebih baik. Ini yang pada akhirnya akan menciptakan sistem yang ramah lingkungan bagi bumi.
“Ternyata rumput bisa dikembangkan dengan baik, kemudian pemanfaatannya bisa macam-macam. Pucuknya dipakai untuk pakan ternak, batang bawahnya ternyata ke bio ethanol. Kalau melihat peternakan, bukan hanya sekadar ternak pakan, tapi lingkup lingkungannya juga akan terdampak,” tuturnya.
Saat ini, lokasi penanaman Rumput Gama Umami sudah banyak tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mulai dari Bantul, Sleman, Salatiga, Denpasar, Banyumas, Blora, hingga Pangkalan Bun di Kalimantan Tengah. Bahkan penerapan Gama Umami ada yang digunakan untuk mencegah longsor.
“Di Brebes menanam Gama Umami untuk mencegah longsor,” terang Nafiatul.
Tidak hanya itu, ia juga menerima laporan bahwa Rumput Gama Umami juga tumbuh baik di lahan bekas tambang batubara. Ia melihat hal ini sebagai input yang sangat baik, mengingat menanam tumbuhan di lahan-lahan marginal ternyata bisa berpotensi baik.
“Bayangkan kalau areal lahan, di kondisi bekas tambang batubara, ternyata produksinya (Gama Umami) juga bagus. Ini kan (memang perlu) riset-riset lanjut. Bayangkan, lahan-lahan marginal terbuka itu kemudian bisa tertutup dengan rumput yang tingginya kurang lebih 3 meter dan seterusnya. Itu kan bisa menjadi sarana penyediaan oksigen,” tukasnya.
Penelitian Rumput Gama Umami di Fakultas Peternakan UGM pada 2018 Foto: Doc. Nafiatul Umami
|
Nafiatul Umami bersama tim dari Kementerian Pertanian pada saat evaluasi dan visitasi untuk klarifikasi pendaftaran Varietas baru rumput gajah Gama Umami tahun 2021 Foto: Doc. Nafiatul Umami
|
Pada akhirnya, melalui Rumput Gama Umami inovasinya, ia berharap bisa menjadi salah satu yang memberikan dampak berkualitas bagi ternak-ternak di Indonesia. Lalu, dengan adanya kontribusi bagi stabilitas dan kontinuitas serta kualitas untuk ternak, akan meningkatkan pula produktivitas peternakan di Indonesia.
Ia juga berharap memiliki kontribusi bagi perbaikan marginal-marginal area. Sebab, ada banyak sekali lahan di Indonesia yang mungkin saat ini belum bisa maksimal.
“Kalau kita ada tanaman yang mudah tumbuh, itu sangat berdampak, sehingga bisa menghidupkan peternakan dari sektor-sektor manapun. Ke depan, walaupun data belum sempurna, riset terus berkembang, tapi ke arah sana yang harapannya bisa memberi kemanfaatan yang lebih,” tuturnya.
Tak lupa, untuk pengembangan peternakan, Nafiatul turut menggantungkan harapan bahwa swasembada pakan, swasembada ternak adalah wajib harus ada di Indonesia.
“Saya berharap peternakan ke depan di Indonesia, mandiri dari pakan, sehingga bisa menciptakan swasembada hasil dari protein hewani dari susu dan daging,” pungkasnya.
Ke depan, Rumput Gama Umami, tak hanya fokus pada kualitas dan produktivitasnya. Melainkan juga bioenergi yang penting bagi bumi dan bisa membantu regenerasi agrikultur dan peningkatan mutu lahan.
Namun, untuk saat ini, jika ditanya apakah menyelamatkan bumi bisa dimulai dari pakan ternak? Dengan tegas, Prof Ir Nafiatul Umami, SPt MP PhD IPM ASEAN Eng, sudah bisa menjawabnya.
“Sekali lagi, saya yakin bisa.”
(faz/nwk)