Jakarta –
Tim peneliti di Laboratorium Pirometalurgi FTTM Institut Teknologi Bandung (ITB), yang dipimpin Zulfiadi Zulhan, mengembangkan teknologi plasma hidrogen.
Teknologi yang menyita perhatian publik itu memungkinkan mengubah “tanah” menjadi logam dalam waktu kurang dari dua menit. Metode ini diwujudkan dalam bentuk reaktor khusus yang dimodifikasi dari alat pemotong baja atau plasma cutter.
Reaktor plasma hidrogen ITB ini juga lebih ramah lingkungan dibanding teknologi konvensional yang masih menggunakan batu bara sebagai reduktor dan bahan bakar dalam bentuk kokas dan PCI (pulverized coal injection).
Sebagian besar industri besi dan baja di dunia, termasuk di Eropa, mulai merencanakan beralih dari blast furnace untuk mengurangi dampak lingkungan. Pasalnya, penggunaan batu bara skala masif disinyalir sebagai salah satu penyebab meningkatnya emisi gas CO2 sehingga temperatur muka bumi turut naik.
Dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhan sebagai guru besar Pirometalurgi di ITB, Zulfiadi menjelaskan bahwa teknologi plasma hidrogen dapat membantu mengurangi emisi karbon dalam proses produksi besi dan baja.
Dibandingkan dengan penelitian serupa di Jerman, Austria, dan Amerika Serikat, teknologi ITB memiliki keunggulan efisiensi waktu dan daya listrik yang digunakan.
Selain melakukan uji coba bijih besi menjadi logam, Zulfiadi dan tim juga telah melakukan riset menggunakan reaktor tersebut pada residu pelindian nikel, produksi feronikel, produksi ferokromium, dan lain-lain.
Untuk diketahui, proses produksi bahan baku pembuatan baterai dari bijih nikel laterit tipe limonit menghasilkan tailing atau residu pelindian dalam jumlah sekitar 1,1 kali dari jumlah bijih nikel yang diproses. Hal ini menjadi kendala tersendiri untuk mencari tempat penyimpanannya.
Berbagai usaha untuk memanfaatkan residu pelindian tersebut salah satunya sebagai bahan baku produksi besi dan baja. Hanya saja terdapat masalah kandungan sulfur yang tinggi.
“Tailing nikel dengan sulfur tinggi dikirim ke pabrik baja pasti tidak akan terima. Kita tanya ke mereka terima enggak 1% sulfur? ya ditolak, apalagi 6% sulfur,” ujar Zulfiadi.
Reaktor hidrogen plasma ITB menurut Zulfiadi dapat menjadi salah satu alternatif menjawab tantangan tersebut. Dari hasil riset menggunakan 3 gram residu pelindian nikel, kadar sulfurnya menurun hingga kurang dari 0,1% setelah waktu proses berlangsung sekitar 3 menit.
“Hasil ini juga dikonfirmasi oleh penelitian yang dilakukan oleh di Max-Planck Institute Jerman,” ujar Zulfiadi. Sehingga ada potensi penggunaan tailing nikel sebagai bahan baku untuk menghasilkan baja spesial dan baja tahan karat.
Zulfiadi juga melakukan uji coba di reaktor tersebut untuk menghasilkan ferokromium dari bijih kromit, feronikel dari bijih nikel saprolit, dan mencampur bijih kromit dan bijih nikel menjadi baja tahan karat (stainless steel). “Namun ini masih dalam skala laboratorium belum dikembangkan dalam skala industri,” ujarnya.
Pria dari Aceh memiliki mimpi di masa depan logam dapat diproduksi dengan alat yang bekerja ibarat mesin kopi. “Mesin pembuat kopi hari ini, kita buat kopi tinggal tekan maunya apa. Mau cappuccino, tekan cappuccino, keluarnya cappuccino. Tekan macchiato, keluarnya macchiato,” ujarnya.
Ia membayangkan alat tersebut diperkaya dengan kecerdasan buatan (AI), machine learning, dan robot. “Kita masukkan bijih nikel, bijih kromium, bijih besi atau lain-lain kemudian tinggal kita tekan. Maunya baja tahan karat keluar baja tersebut,” ujarnya.
Zulfiadi punya jam terbang tinggi dalam bidang pengolahan besi dan baja. Dosen yang lahir di Bireuen pada 1973 itu mendapat penghargaan Ludwig von Bogdandy Preis 2006 saat menempuh pendidikan doktoral di Institute for Ferrous Metallurgy (IEHK, Institut für Eisenhüttenkunde), RWTH Aachen University, Jerman.
Penghargaan itu diberikan atas hasil penelitian Zulfiadi di bidang metalurgi yang dianggap inovatif serta berguna bagi masa depan. Menariknya, putra Aceh ini merupakan peneliti dari luar Jerman pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut.
Selain itu, suami Sri Yulis ini juga menerima penghargaan Borchers Plakette karena menyelesaikan program doktoralnya dengan predikat tertinggi, summa cum laude.
Risetnya saat doktoral itu dilirik oleh kalangan industri pengolahan baja. Begitu lulus, anak dari pasangan Zulkifli Hanafah dan ZubaidahAbubakar itu langsung dikontrak Siemens VAI, sebuah perusahaan logam di Jerman.
Zulfiadi menuturkan pembimbingnya di RWTH Aachen yang menganjurkan agar dirinya mencari pengalaman di industri di Jerman sebelum kembali ke Indonesia. Selepas kontrak tersebut, ia memutuskan kembali ke Tanah Air untuk mengajar dan meneliti di ITB.
Tantangan Aplikasi ke Skala Produksi
Dalam naskah orasi ilmiahnya, Zulfiadi juga mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi pada pengaplikasian teknologi hydrogen plasma smelting reduction atau HPSR ini pada skala produksi komersial di industri.
Pertama yaitu reaksi terjadi hanya pada area yang kontak langsung dengan plasma. Pada area yang tidak terkena plasma, reaksi reduksi tidak berlangsung atau berlangsung dengan laju reaksi yang lambat dengan mengandalkan gas hidrogen yang tidak bereaksi di dalam tanur.
Kemudian plasma tidak terselimuti oleh slag yang menyebabkan timbulnya radiasi ke bagian dinding dan atap tanur dan mempercepat kerusakan pada bagian dinding dan atap tanur. Karena itu, metode penyelimutan plasma untuk meminimalkan kehilangan panas ke dinding dan atap tanur perlu dipertimbangkan.
Selain itu, bahan untuk dinding dan atap tanur, termasuk refraktori, perlu didesain sedemikian rupa sehingga tahan terhadap radiasi plasma.
Zulfiadi juga menyebutkan nozel plasma juga harus didesain sehingga tahan pada temperatur tinggi dan dalam waktu yang lama. Pengetahuan manusia dalam bidang ilmu roket dapat diadaptasi untuk desain nozel plasma.
“Sealing elektroda dan sistem pengumpanan material selain melalui rongga elektroda perlu didesain untuk mencegah udara masuk ke dalam tanur yang menyebabkan ledakan,” tulisnya.
(pal/nwk)