Jakarta –
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti merespons keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai diwajibkannya pemberian mata pelajaran agama di sekolah.
“Kemendikdasmen menyambut baik dan siap melaksanakan keputusan MK tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi sangat tepat, sejalan UUD 1945 yang menegaskan tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia,” ujar Mu’ti dalam keterangan resminya pada Sabtu (4/1/2025).
Menurutnya keputusan MK tersebut dapat memperkuat sistem pendidikan. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003.
Hakim MK, Arief Hidayat menegaskan pendidikan agama merupakan konsekuensi atas penerimaan Pancasila sebagai ideologi. Ia mengatakan pendidikan nasional harus dilaksanakan secara demokratis.
“Pendidikan nasional bertujuan untuk membentuk potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Pendidikan nasional dalam tingkat apapun tidak dapat dilepaskan dari nilai keagamaan,” ujarnya.
Selain itu, pendidikan agama juga diselenggarakan secara berkeadilan. Tentunya dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan Agama Sempat Diajukan sebagai Mapel Pilihan
Mengutip laman MK, sebelumnya terdapat pemohon yakni Raymond Kamil dan Indra Syahputra yang mengajukan mata pelajaran agama sebagai pilihan. Namun permohonan tersebut ditolak oleh MK.
Selain itu, para pemohon menginginkan kolom agama dalam biodata penduduk yang memuat keterangan agama atau kepercayaan dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Pengenal (KTP) dapat diisi dengan “tidak beragama”.
Menurut para pemohon, kebebasan beragama seharusnya mencakup kebebasan untuk tidak menganut agama tertentu dan Tuhan. Pemohon kemudian mengajukan pengujian sejumlah norma dalam undang-undang yang berkaitan dengan hak beragama.
Hak tersebut terdiri dari hak tidak menyebutkan agama dan kepercayaan dalam data kependudukan, hak mendapatkan pengajuan perkawinan yang tidak didasarkan agama atau kepercayaan, dan hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah.
“Dalam konteks ini, maka implementasi masing-masing individu dalam meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hukum positif adalah beragama dan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara merdeka, hal mana merupakan pilihan yang jauh lebih tepat daripada tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” jelas Arief.
(cyu/nwk)