Jakarta –
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek) Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro buka-bukan soal kebijakan prioritasnya. Dari masalah otonomi kampus, niat menyetop pembukaan fakultas kedokteran (FK) di perguruan tinggi negeri (PTN) hingga isu favoritisme sekolah unggulan.
Satryo dikenal sebagai penggagas konsep otonomi kampus di Indonesia. Konsep tersebut diperkenalkan saat ia menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi pada tahun 2000 lalu. Satryo memegang jabatan tersebut mulai 1999 hingga 2007. Selama menjabat, ia mengungkapkan bahwa kementerian pendidikan sejumlah negara banyak yang “berguru” soal otonomi kampus kepadanya.
Ditemui detikEdu di kantornya pada Jumat (10/1/2025), Mendikti Satryo melontarkan kritikan bahwa otonomi kampus yang digagasnya belum bisa dijalankan sepenuhnya di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam Taklimat Media 2025 lalu, Satryo mengungkapkan kesalahkaprahan dalam penerapan otonomi kampus yang bukan pembiayaan. Kepada detikEdu, Satryo mengatakan rencana akan menyetop pembukaan Fakultas Kedokteran (FK) di PTN-PTN yang sebenarnya untuk mendulang pendanaan.
Dari sisi mahasiswa, terutama terkait pembiayaan kuliah, pihaknya tengah mengupayakan kenaikan besaran KIP Kuliah per mahasiswa, jumlah mahasiswa yang dibiayai, dan skenario komponen pembiayaannya. Ia mengatakan skenario KIP Kuliah paling efektif jika diberikan penuh pada komponen uang kuliah maupun biaya hidup.
Satryo juga mengatakan perihal revisi peraturan terkait akreditasi tersebut berhubungan dengan upaya mewujudkan otonomi perguruan tinggi yang saat ini terhambat over-regulasi. Diharapkan, dosen ke depan menjadi lebih fokus pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat.
Tak ketinggalan, Satryo juga angkat bicara soal tunjangan kinerja (tukin) dosen 2025 yang dikabarkan tidak jadi cair. Satryo mengatakan pihaknya sudah mengajukan tambahan anggaran Rp 2,6 triliun ke Kementerian Keuangan terkait pembayaran tukin dosen. Tukin ini akan cair pada 2025 jika sudah mendapat persetujuan dari Kemenkeu dan Badan Anggaran (Banggar) DPR.
Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga berharap bahwa universitas membawa dampak bagi daerah di mana kampus itu berdiri.
Mengenai keberlanjutan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Satryo mengatakan program-programnya masih dalam proses peninjauan manfaat dan relevansi. Program yang masih bermanfaat akan dilanjutkan, sedangkan yang kurang bermanfaat diperbaiki.
“Kalau emang sama sekali nggak bisa perbaiki karena emang sudah nggak cocok, ya kita hentikan aja,” ucapnya.
Satryo juga menanggapi masalah sekolah unggulan SMA Garuda yang dieksekusi di bawah Kemendiktisaintek, alih-alih Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Termasuk isu favoritisme sekolah unggulan yang pada periode Kemendikbudristek era Presiden Jokowi lalu coba dihilangkan dengan kebijakan zonasi.
Kritik juga disampaikan kepada sekolah kedinasan di bawah kementerian/lembaga pemerintah. Masalah ketimpangan dana sekolah kedinasan dibanding PTN, Satryo menjelaskan alasan ketimpangan anggaran PTN (Rp 7 triliun) dibandingkan sekolah kedinasan (Rp 32 triliun). Sekolah kedinasan tidak dipungut biaya sehingga biaya operasionalnya besar, sedangkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dapat menarik iuran dari siswanya. Padahal dari segi jumlah, lebih banyak jumlah PTN.
Satryo juga mengatakan bahwa seharusnya sekolah kedinasan juga mendidik SDM di lingkungan sendiri, tidak dibuka untuk umum.
(nwk/pal)