Jakarta –
Mahkamah Konstitusi (MK) mandatkan Pemerintah gratiskan pendidikan sekolah negeri dan swasta selama 9 tahun. Putusan itu memicu banyak pertanyaan, salah satunya apakah anggaran negara untuk itu cukup?
Perlu diketahui putusan MK ini menegaskan frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Frasa tersebut tidak relevan dengan kondisi pendidikan saat ini, di mana sekolah swasta masih mematok biaya yang cenderung tinggi.
Meskipun hasil putusan MK ini disambut baik oleh masyarakat, tetapi tantangan tak bisa diabaikan begitu saja terutama soal anggaran. Demikian disampaikan oleh pengamat pendidikan Bukik Setiawan yang juga merupakan Ketua Yayasan Guru Belajar (YGB) dan konsultan kajian pengembangan guru dan tenaga kependidikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pendidikan dasar gratis di sekolah negeri maupun swasta adalah langkah besar menuju keadilan pendidikan,” katanya saat dihubungi detikEdu, Rabu (28/5/2025).
Sekolah Gratis Beratkan Anggaran Daerah
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan saat ini sebesar 20 persen. Nilainya Rp 33,7 triliun atau 4,63 persen dari total 20 persen anggaran pendidikan (Rp 724,2 triliun).
Jumlah tersebut pun masih terimbas efisiensi anggaran sebanyak Rp 25,5 triliun. Tak hanya di APBN, implementasi sekolah gratis ini menurut Bukik akan memberatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
“Kebijakan ini mudah diucapkan dari pusat, tapi berat dijalankan di daerah,” menurutnya.
Tidak berhenti di sana, Bukik pun menanyakan perihal kesiapan daerah dalam hal lain, mulai desain kebijakan hingga kemitraan dengan swasta.
“Tapi tantangan utama justru ada di daerah. Banyak pemerintah daerah belum siap dari sisi anggaran, desain kebijakan, maupun kemitraan dengan sekolah swasta,” tuturnya.
Skema Harus Jelas, Sehingga Tak Berhenti sebagai Teks Hukum
Bukik melihat banyak warga menantikan keputusan ini. Oleh karena itu, perlu respons pemerintah yang nyata tidak sekadar wacana atau keputusan tertulis saja.
“Tanpa panduan teknis dan skema pendanaan yang jelas, risiko paling besar adalah keputusan ini berhenti sebagai teks hukum, bukan perubahan nyata di ruang kelas,” tuturnya.
Menurut Bukik, Pemerintah pusat tak bisa memutuskan kebijakan ini sendirian. Dalam realisasinya pun, Pemerintah tidak boleh hanya memberi instruksi tetapi juga insentif.
“Pemerintah pusat perlu menunjukkan komitmen melalui dukungan konkret kepada daerah-bukan sekadar instruksi, tapi insentif dan infrastruktur kebijakan,” saran Bukik.
Ia berharap langkah baik ini dapat diimplentasikan segera dengan pertimbangan yang baik. Pasalnya, pendidikan gratis memang hak untuk semua siswa tak terkecuali yang bersekolah di swasta.
“Hanya dengan sinergi pusat-daerah, hak belajar anak Indonesia bisa betul-betul dijamin, tak peduli sekolahnya negeri atau swasta,” pungkasnya.
Sebagai informasi tambahan, sebelumnya MK menyatakan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 punya definisi bahwa negara wajib membiayai pendidikan dasar “tanpa batasan mengenai jenis sekolahnya”.
“Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa,” ujar Hakim Konstitusi Enny Nurbainingsih seperti dikutip dari situs resmi MK.
“Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa,” tambahnya.
Enny juga menyebut negara harus memastikan alokasi anggaran yang tepat. Langkah ini juga sebagai respons dari adanya sekolah swasta yang menerima bantuan seperti BOS atau beasiswa, tetapi tetap memungut biaya lain terhadap siswa.
“Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah tertentu,” kata Hakim Enny.
(cyu/nah)