Jakarta –
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan menerapkan kembali penjurusan IPA/IPS/bahasa di tingkat SMA. Sementara, penghapusan jurusan dalam Kurikulum Merdeka masih seumur jagung.
Format penjurusan di SMA dihapuskan secara resmi mulai tahun ajaran 2025/2026 melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. Meski demikian, secara de facto Kurikulum Merdeka telah diterapkan sejak ajaran 2021/2022 di beberapa sekolah.
Pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya (UB), Andhyka Muttaqin mengatakan Kurikulum Merdeka salah satu semangatnya adalah memberi kebebasan untuk siswa memilih mata pelajaran lintas jurusan. Maka, apabila kini muncul wacana mengembalikan penjurusan IPA/IPS/bahasa, ia menilai kebijakan tersebut dapat dikatakan terburu-buru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada tiga alasan menurut Andhyka, hal ini dapat dikatakan terburu-buru.
Pertama, menurutnya Kurikulum Merdeka belum dievaluasi secara menyeluruh. Kedua, guru; sekolah; dan siswa masih dalam proses adaptasi. Ketiga, perubahan arah kurikulum yang terlalu cepat dapat membingungkan semua pihak.
“Idealnya, Pemerintah mengumpulkan dulu data dan pendapat dari guru; siswa; dan orang tua, lalu melakukan kajian mendalam sebelum mengganti arah kebijakan besar seperti ini,” jelasnya kepada detikEdu, pada Rabu (16/4/2025).
Apa Dampak Kebijakan yang Berubah-ubah?
Setidaknya ada beberapa dampak kebijakan yang berubah-ubah dari sisi guru, sekolah, siswa, dan orang tua.
Dampak bagi Guru
Dosen Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi UB itu menyebut bagi guru, mereka harus terus menyesuaikan cara mengajar, padahal belum selesai beradaptasi. Selain itu, Andhyka menilai sekolah harus mengubah struktur pelajaran, jadwal, dan sistem administrasi lagi.
“Ketidakpastian ini bisa membuat stres dan kelelahan,” kata Andhyka.
Dampak bagi Siswa
Menurut Andhyka para peserta didik bisa bingung memilih arah karier dikarenakan kurikulum yang tidak konsisten.
“Ada risiko siswa tidak mendapatkan pembelajaran yang optimal karena sistemnya belum stabil,” jelasnya.
Dampak bagi Orang Tua
“Mereka bingung bagaimana mendampingi anaknya belajar dan menentukan masa depan,” kata Andhyka.
Ia pun menyebut, jika ada perubahan buku atau kebutuhan belajar lainnya, maka dapat menambah beban biaya.
Masyarakat Dapat Bertanya-tanya
Andhyka menerangkan, di mata masyarakat umum, kebijakan yang kerap berubah akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap Pemerintah, terkhusus Kementerian Pendidikan.
“Masyarakat bisa bertanya-tanya, ‘Apakah kebijakan ini betul-betul berdasarkan riset atau hanya coba-coba?’, ‘Kenapa sistem pendidikan anak-anak kami selalu berubah seperti uji coba?'” ungkapnya.
Ia menyebut, kesan yang muncul adalah sistem pendidikan kita tidak memiliki arah yang jelas dan mudah berubah sebagaimana pergantian pejabat atau menteri.
Apakah Penjurusan di SMA Lebih Sesuai untuk Indonesia?
Andhyka menjabarkan kelebihan dan kekurangan dari format penjurusan. Ia menyampaikan, kelebihannya adalah siswa dapat lebih fokus pada bidang tertentu yang sesuai dengan minat dan rencana kariernya.
“Lebih mudah mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi sesuai jalur, misal kedokteran; teknik; hukum; dan sebagainya,” kata Andhyka.
Sementara, kekurangannya adalah penjurusan yang biasanya diadakan di kelas 10 atau 11 menurutnya terlalu awal. Sehingga, dapat menutup kemungkinan siswa mengeksplorasi minat lebih luas.
“Tidak semua siswa sudah tahu minat dan bakatnya di usia itu,” ucapnya.
Alternatif untuk Siswa SMA
Andhyka menyarankan, sebaiknya siswa dibiarkan mengeksplorasi terlebih dahulu di kelas 10 dengan berbagai mata pelajaran.
Penjurusan dapat dilakukan bertahap dan fleksibel. Artinya, siswa bisa memilih campuran mata pelajaran, misalnya biologi ditambah sosiologi plus bahasa asing.
“Pendidikan sebaiknya adaptif, bukan kaku dalam kotak IPA, IPS, atau Bahasa,” ungkapnya.
Ia menyimpulkan, kebijakan pendidikan seharusnya dirumuskan secara konsisten, partisipatif, dan berdasarkan evaluasi yang matang. Perubahan yang terlalu cepat dapat membuat semua pihak lelah dan bingung.
“Penjurusan boleh saja dipertimbangkan kembali, asalkan dilakukan dengan fleksibel dan berdasarkan kebutuhan siswa, bukan demi mengulang sistem lama,” pungkasnya.
(nah/nah)