Jakarta –
Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Achmad Hidayatullah PhD sambut baik rencana kenaikan gaji guru sebesar Rp 2 juta yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya upaya ini perlu diapresiasi dan didukung.
Karena fakta dilapangan menyebutkan bila kesejahteraan guru Indonesia masih kerap terabaikan. Kenaikan gaji ini akan menjadi angin segar bagi para guru di tengah kondisi krisis global.
“Jika itu benar terjadi, maka guru bisa sedikit bernafas di tengah kondisi krisis global yang membuat harga kebutuhan naik sementara pendapatan jauh dari layak,” ujar sosok yang akrab dipanggil Dayat dikutip dari rilis di laman UM Surabaya, Senin (4/11/2024).
Tidak Memprioritaskan ASN di Perkotaan
Terkait kenaikan gaji guru sebesar Rp 2 juta ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti sempat angkat bicara. Ia menegaskan skema kenaikan gaji sudah dianggarkan untuk tahun 2025.
Tetapi untuk tambahan gaji sebesar Rp 2 juta akan ada regulasi dan kualifikasi yang mengatur. Kini, hal tersebut tengah digodok dan dihitung karena nominal tiap orang akan berbeda.
“Sedang kita hitung karena nanti nominalnya tidak sama, sehingga kita harus hitung betul jangan sampai mereka yang berhak tidak menerima tetapi yang tidak berhak malah menerima,” ucap Mu’ti.
Mu’ti juga kerap menyinggung skema kenaikan gaji guru 2025 diperuntukan bagi guru yang sudah berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), bersertifikasi, dan honorer. Tentang hal ini, Dayat mengingatkan agar pemerintah bisa adil dan jangan hanya memprioritaskan ASN di perkotaan.
“Karena masih banyak guru-guru baik di daerah atau perkotaan yang non ASN mendapatkan gaji yang jauh dari layak,” ungkap Dayat.
Dayat menyebutkan data riset yang menemukan ada guru di Indonesia yang mendapat gaji dengan besaran kurang dari USD 6 atau hanya sekitar Rp 94 ribu (dengan kurs per 4 November sebesar Rp 15.762,40).
Ia juga membeberkan hasil survey yang dilakukan Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Mei 2024. Survey ini menyebutkan ada 42% guru dan 74% guru honorer berpenghasilan di bawah Rp 2 juta serta 13% guru dan 20,5% guru honorer berpenghasilan di bawah Rp 500 ribu.
“Jika yang diperhatikan hanya gaji guru ASN, bagaimana mungkin kualitas pendidikan Indonesia akan naik,” ucapnya lagi.
Jangan Ada Kesenjangan Antara Guru ASN dan Non ASN
Untuk itu diperlukan perhitungan yang matang dalam menentukan besaran kenaikan gaji guru. Jangan sampai malah timbul kesenjangan antara guru ASN dan non ASN.
“Karena kalau hanya ASN saja yang diperhatikan, asumsinya secara epistemologi beliefs, pemerintah meyakini bahwa kenaikan kualitas pembelajaran hanya ditentukan guru ASN,” tambahnya.
Perhatian lebih juga harus diberikan untuk guru-guru di daerah pedalaman dan pulau terpencil. Karena mereka yang berstatus ASN saja mendapat tantangan yang berat apalagi guru non-ASN yang bergaji rendah.
“Oleh karena itu, upaya menaikkan gaji guru tersebut perlu didukung dan diapresiasi, namun pemerintah juga perlu memikirkan guru non-ASN dan khususnya mereka yang berada di daerah,” pungkasnya.
(det/pal)