Jakarta –
Sebagai buntut kasus pemberian gelar honoris causa (HC) dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) Thailand kepada selebritas Raffi Ahmad beberapa waktu lalu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengeluarkan hasil investigasi atas UIPM.
Kemendikbudristek menyatakan UIPM belum memiliki izin operasional di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Investigasi tersebut dilakukan melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah IV. Investigasi sendiri dilakukan pada Minggu dan Senin, 29-30 September 2024. Inspeksi ini dilaksanakan sebagai respons aduan masyarakat atas dugaan bahwa UIPM belum mempunyai izin operasional dari Kemendikbudristek.
Terkait hal ini, pengamat kebijakan pendidikan Universitas Airlangga (Unair), Agie Nugroho Soegiono, turut membagikan pandangannya. Menurutnya pemberian gelar HC bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan sembarangan.
Aturan Pemberian Gelar Doktor Kehormatan
Agie mengatakan pemberian gelar doktor kehormatan membutuhkan prosedur yang panjang dan ketat. Adapun aturan pemberian gelar doktor kehormatan tertuang melalui Permendikbudristek Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan.
Pada pasal 1 Permendikbudristek 65/2016 disebutkan gelar doktor kehormatan diberikan oleh perguruan tinggi yang mempunyai program doktor dengan peringkat terakreditasi A atau unggul kepada perseorangan yang layak mendapat penghargaan berkenaan jasa-jasa yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan.
“Ada syarat-syarat yang sangat spesifik dan ketat yang harus terpenuhi. Regulasi menekankan bahwa gelar HC hanya dapat diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan kemanusiaan,” jelas Agie, dikutip dari situs resmi Unair.
Agie lebih lanjut menerangkan sejatinya seseorang dengan gelar doktor harus mempunyai kriteria yang terdeskripsi dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 9 yang terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012.
Sebagai contoh, seorang doktor harus dapat mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan/atau seni baru dalam bidang keilmuannya atau praktik profesional melalui riset hingga menghasilkan karya kreatif, original, juga teruji.
Lebih lanjut, dia mengatakan pemberian gelar kehormatan harus dengan usulan dari senat akademik kepada pimpinan universitas. Pimpinan universitas selanjutnya mempertimbangkan rekomendasi senat yang melakukan uji kelayakan dan menyusun tim promotor sesuai bidang ilmu calon penerima gelar kehormatan.
Uji kelayakan tersebut meliputi rekam jejak prestasi, kontribusi yang telah terbukti, dan dampak terhadap masyarakat.
“Proses ini mencakup penilaian yang sangat teliti. Perlu melibatkan berbagai pihak untuk memastikan bahwa penerima gelar HC benar-benar layak dan memiliki reputasi yang baik,”ujar Agie.
“Ini menunjukkan bahwa gelar HC tidak hanya diberikan berdasarkan gelar akademik. Tetapi juga pada kontribusi nyata dalam pengembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan,” imbuhnya.
Agie menegaskan institusi pendidikan harus lebih hati-hati dalam memberikan gelar doktor kehormatan. Dia menyebut pemberian gelar HC harus memperhatikan dampak untuk masyarakat.
Agie menekankan kampus yang akan memberikan gelar kehormatan perlu memastikan karya atau hasil kerja seseorang yang diusulkan untuk menerima gelar HC tak hanya diakui secara formal, tetapi juga bisa dipertanggungjawabkan.
Ditambah lagi, menurut Agie, transparansi dalam proses pemberian gelar kehormatan sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas institusi pendidikan.
(nah/nwk)