Jakarta –
Terkait kebijakan penghapusan jurusan di SMA, Ketua Yayasan Guru Belajar Bukik Setiawan menilai kebijakan ini akan memberikan dampak baik bagi siswa. Khususnya, dalam menghilangkan kastanisasi jurusan.
“Sudah puluhan tahun kastanisasi terjadi, mau nunggu berapa tahun lagi anak-anak Indonesia jadi korban?” tuturnya saat dihubungi detikEdu, Kamis (19/7/2024).
Ia juga menyebut manfaat lainnya yang bisa dirasakan siswa seperti kemerdekaan mengeksplorasi minat, meningkatkan motivasi belajar murid, dan persiapan masuk ke perguruan tinggi akan jauh lebih baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo pun sebelumnya telah menjelaskan bahwa ada tiga alasan dihilangkannya sistem jurusan di SMA.
Pertama, menghapuskan privilese pada jurusan IPA. Kedua, mengembangkan persiapan siswa agar fokus belajar sesuai minat dan rencana studinya. Ketiga, menghilangkan diskriminasi pada siswa yang berasal dari jurusan selain IPA.
Namun, di sisi lain Bukik juga melihat ada dampak sebaliknya dari kebijakan ini. Seperti sekolah kesulitan menyesuaikan kurikulum, murid kesulitan memilih mata pelajaran, dan kecenderungan menghindari pelajaran sulit.
Tugas Pemerintah Pusat-Daerah Terkait Kebijakan Ini
Menurut Bukik, setelah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud) memberlakukan penghapusan jurusan IPA-IPS ini, maka guru dan sekolah harus siap. Tentunya, kesiapan guru dan sekolah juga harus didorong oleh pemerintah.
Dalam hal ini pihak Kemendikbud harus dapat memetakan kesiapan dinas-dinas pendidikan di daerah. Jangan sampai pihak sekolah dan guru menuai kerepotan.
“Memetakan tingkat kesiapan pemerintah daerah dan memberikan dukungan sesuai kesiapan daerah. Jangan abaikan pemerintah daerah dengan menangani langsung ke guru dan sekolah,” katanya.
Kemudian, karena pendidikan adalah ranah tanggung jawab pemerintah daerah, Bukik menyebut implementasi ini perlu didukung penuh pemerintah setempat.
“Banyak pemerintah daerah yang tidak siap dan bahkan abai membantu sekolah dalam melakukan perubahan kurikulum, bukan hanya di Kurikulum Merdeka. Padahal dalam era otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab kunci dalam transformasi pembelajaran terutama perubahan kurikulum,” tuturnya.
Pemerintah daerah bisa membantu sekolah dalam hal memetakan tingkat kesiapan guru dan sekolah. Selain itu, bantuan bisa dilakukan dalam hal memberikan fasilitas hingga praktik yang baik.
“Beri perhatian dan dukungan khusus pada sekolah dengan kondisi yang paling lemah, jangan cuma memperhatikan sekolah favorit,” tutur Bukik.
Adapun bagi pihak sekolah, Bukik berpesan untuk tetap terbuka soal kesiapan guru kepada pemerintah daerah. Jangan sampai hanya terdesak kebijakan, sekolah melakukan implementasi secara asal-asalan.
“Kalau sekolah tidak terbuka, bagaimana bisa mendapat dukungan yang tepat. Berani memberikan dukungan pada guru yang berinisiatif menemukan cara implementasi kurikulum merdeka,” tuturnya.
(cyu/nwk)