Jakarta –
Tak sedikit penerima beasiswa pemerintah memilih untuk bekerja di perusahaan ternama dengan gelar dan ilmunya. Namun, ternyata masih ada yang berkomitmen memenuhi janjinya mengabdi untuk bangsa.
Contohnya adalah Yolmita Deni. Perempuan yang akrab disapa Mita ini adalah alumni beasiswa Lembaga Pengelola Dana Keuangan (LPDP) dan lulusan Master of Education di University of Adelaide Australia.
Kisah perjalanan Mita selekas lulus dari universitas top tersebut menjadi inspiratif karena ia memilih mengabdi jadi guru. Kini, Mita mengajar anak-anak di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebenarnya saya sudah mulai bertanya pada diri sendiri apakah betul-betul ini yang ingin saya jalani. Apakah betul-betul ini kontribusi terbaik yang bisa saya berikan sesuai dengan apa yang saya janjikan di awal,” ungkap Mita, dikutip dari laman LPDP, Rabu (28/8/2024).
Ngajar Anak-anak Sumba Bahasa Inggris
Mita adalah lulusan Adelaide University pada tahun 2020. Sebelum terbang ke Sumba, wanita berdarah Minang ini sempat bekerja sebagai guru online matematika semasa pandemi Covid-19.
Saat itu, Mita bertanya kepada dirinya tentang apa yang harus dilakukan. Ia kembali mengingat komitmennya saat mendaftar beasiswa LPDP yakni mengabdi untuk Indonesia.
“Ketika saya mendaftar beasiswa LPDP, salah satu kontribusi terbesar apa yang bisa saya berikan ke Indonesia. Dan di situ saya menulis, salah satunya adalah ingin berkarya di salah satu yayasan non-profit,” kata Mita.
Pada akhir tahun 2021, Mita diajak rekannya bergabung dengan Sumba Hospitality Foundation (SHF).
“Alhamdulillah, ternyata apa yang saya rencanakan, apa yang saya tulis itu kemudian tercapai seperti itu,” tuturnya.
Hidup Mandiri Sejak Kecil
Mita mengakui bahwa keputusan untuk mengabdi di Sumba mungkin sulit bagi guru lain. Saat ini sudah banyak sekolah dan yayasan profit yang menawarkan para guru gaji yang cukup.
Akan tetapi, Mita tetaplah Mita. Ia merasa jiwa petualang dan mandirinya terbangunkan kembali saat tawaran mengajar di SHF muncul.
Mita adalah anak yang dibesarkan oleh single parent. Sedari kecil, Mita sudah banyak belajar cara mandiri dan berpikir dewasa dalam merespons masalah.
Masa sebelum SMA, Mita hanya tinggal bersama sang nenek. Ibu dan adiknya harus terbang ke Kalimantan untuk menyambung hidup.
“Dari situlah mungkin ibu melihat saya bisa tumbuh, bisa berkembang ketika saya keluar dari zona nyaman saya. Jadi saya bisa katakan didikan dari orang tua adalah menjadi seorang yang mandiri dan dewasa. Sehingga apapun keputusan yang dibuat tentu akan bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Jadi Guru di Sumba adalah Pilihan Tepat
Tak bisa dipungkiri, NTT adalah surga dunia karena kekayaan flora, fauna, hingga pemandangannya yang indah. Mita merasa jadi guru di sana adalah pilihan yang tepat.
Pikiran Mita menjadi lebih tenang mengingat sebelumnya ia tinggal di Jawa yang padat dan penuh dengan kebisingan. Di SHF, Mita juga mempunyai jam mengajar yang sesuai yakni dari jam 9 pagi hingga setengah 5 sore.
“Mau kemana-mana untuk melihat view yang cantik itu cukup dekat, sekitar tiga kilometer kita sudah bisa melihat pantai. Sekitar tiga kilometer ke utara sudah bisa melihat bukit seperti itu. Kemudian keramah tamahan orang lokal juga dan mereka juga bisa,” ungkapnya.
Mita juga saat ini sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitupun warga di sana yang sudah terbiasa dengan Mita.
“Saat ini mereka sudah cukup teredukasi kalau menurut saya, dengan melihat oh iya orang ini (berjilbab) dari ini (luar daerah Sumba) berarti mereka punya preferensi ini sendiri. Terutama saat pesta (makanan atau minuman halal seperti itu,” katanya.
Kembali Studi dengan Beasiswa pada 2025
Semangatnya dalam mengajar membuat Mita memutuskan untuk lanjut studi S3. Beruntungnya, Mita lolos beasiswa fellowship ke University of Pennsylvania (UPenn) dari Fulbright 2025.
Di UPenn ia akan kembali belajar Teaching Methodologies dan sekaligus bertukar ilmu mengajar Indonesian Culture. Tentu, Mita akan kembali pulang dan mengabdi mengaplikasikan ilmu yang didapat.
“Setelahnya tentu saya juga ingin tetap melanjutkan karir saya entah itu nanti sebagai pengajar, entah itu sebagai trainer, ataupun sebagai salah satu pengembang kurikulum, harapan saya sih seperti itu. Saya bisa terlibat menjadi pengembang kurikulum dan juga pengembang program untuk memberdayakan teman-teman di wilayah yang tentunya belum banyak terjamah oleh teman-teman yang lain,” kata Mita.
(cyu/nwy)