Jakarta –
Ungkapan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa bukanlah sebuah perkataan belaka. Seluruh guru di Indonesia tiap harinya berjuang untuk mencetak generasi emas yang akan memajukan bangsa.
Salah satunya adalah ibu guru Diana Cristina Da Costa Ati. Diana panggilan akrabnya merupakan seorang guru yang mengajar SD di wilayah pedalaman Papua.
Ia memulai pengabdiannya sejak tahun 2018 melalui Program Guru Penggerak Daerah Terpencil. Program ini adalah hasil inisiasi Bupati Mappi periode 2017-2022, Kristosimus Yohanes Agawemu, bekerja sama dengan Gugus Tugas Papua, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Wanita kelahiran Atambua, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini awalnya ditempatkan di Kampung Labusene, Distrik Hijau, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua yang kini menjadi Papua Selatan. Tiga tahun berlalu, Diana menandatangani kontrak baru di wilayah daerah khusus atau daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal.
Tepatnya pada Sekolah Dasar Negeri Atti, Kampung Atti, Distrik Minyamur, Kabupaten Mappi, Papua Selatan. Sejak saat itu ia mengabdikan diri menjadi guru di daerah khusus.
Masalahkan Akses, Kurikulum, dan Kurangnya Guru
Pada tahun 2023, Diana menjadi salah satu sosok yang memperoleh Tunjangan Profesi Guru (TPG) dan Tunjangan Khusus Guru (TKG). Baginya, kedua tunjangan ini layak didapatkan untuk mendukung proses pembelajaran.
“Saya pikir, saya berhak dan layak mendapatkan TPG dan juga TKG karena saya betul-betul mengabdi di pedalaman dengan kondisi geografis yang sulit dan budaya masyarakat yang masih belum kondusif untuk mendukung proses pembelajaran,” kata Diana dikutip dari laman Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemendikbudristek, Jumat (11/10/2024).
Seluruh dana tunjangan ini dimanfaatkan Diana untuk membantu murid. Seperti buku, perlengkapan sekolah, dan seragam yang menjadi kebutuhan utama siswa di pedalaman Papua.
Berbeda dengan sekolah di pulau Jawa, sebagian besar siswa menggunakan pakaian sehari-hari untuk bersekolah dan tidak bersepatu.
Karena sekolah berada di tengah ladang, harus melewati hutan, rawa-rawa dan perairan, akses yang ditempuh siswa sangatlah sulit. Di sekolah yang ia ajar, yakni SDN Atti sebagian besar siswa bertempat tinggal jauh dari sekolah.
Bahkan saat ini, tercatat 6 siswa masih tinggal di hutan dan butuh 2 jam perjalanan untuk sampai di sekolah. Sehingga beberapa siswa memilih berangkat dengan baju main dan ganti seragam di sekolah.
“Ada cerita, siswa berangkat ke sekolah dengan baju main dan ganti pakai seragam di sekolah karena rumahnya sangat jauh di hutan. Butuh perjalanan 2 jam melewati hutan dan rawa,” ungkapnya.
Meski mendapat bantuan, Diana mengaku sulit memanfaatkan TPG dan TKG untuk peningkatan kompetensi siswa. Karena sulitnya akses dari wilayah sekolah ke kota atau daerah lainnya.
“Saya belum pernah, karena transportasinya mahal dan aksesnya sulit serta jauh,” tuturnya.
Diana juga mengkritik terkait kurikulum yang ditetapkan pemerintah saat ini tidak kontekstual dengan siswa di pedalaman Papua. Setelah 7 tahun mengabdi di Kabupaten Mappi, masyarakat di sana 90 persen merupakan lulusan SD.
Walaupun lulus, kemampuan membaca, menulis, dan berhitungnya masih sangat minim. Masyarakat Mappi disebut Diana berpikir sangat sederhana, yakni terpenting bisa mencari makan tanpa harus bersekolah.
Berdasarkan kondisi budaya dan geografis tersebut, Kurikulum Merdeka yang ditetapkan pemerintah menjadi kurang tepat. Kurikulum itu akhirnya dikembangkan Diana dan rekan guru dengan muatan lokal melalui kurikulum kontekstual.
“Metode pembelajaran dilakukan dengan pendekatan sosial, yakni melakukan sosialisasi ke orang tua, materi pembelajaran disesuaikan dengan budaya dan kebiasaan mereka, jadi kita mengubah pola pikir mereka dulu,” jelasnya.
Tidak hanya pada murid, kurikulum pemerintah di pedalaman Papua sulit disesuaikan guru. Terutama masalah sistem administrasi.
“Kurikulum yang ditetapkan pemerintah saat ini tidak kontekstual dengan siswa di pedalaman Papua dengan sistem administrasi di mana guru di sini sulit menyesuaikan,” ungkap Diana.
Hambatan terakhir yang ia rasakan adalah kurangnya tenaga pendidikan dan minimnya kesejahteraan guru. Data Pokok Pendidikan Kemendikbduristek menunjukkan jumlah guru di SDN Atti hanya 4 orang dan tenaga kependidikan 5 orang.
Tidak ada guru mata pelajaran, tetapi guru mengajar semua mata pelajaran dengan jumlah murid 86 orang dari kelas 1-6. Diana sendiri mengajar kelas 5 dan 6.
Kini Diana bersyukur karena sejak tahun 2023 lalu jaringan internet sudah masuk wilayah Mappi. Sehingga para guru bisa mengupdate cara belajar melalui YouTube, dan disesuaikan dengan kondisi di daerah pedalaman.
Berharap Menteri Pendidikan Berkunjung ke Papua
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapinya ketika mengajar di pedalaman Papua, Diana berharap pemerintah melalui menteri pendidikan datang berkunjung ke Papua. Mereka harus melihat kondisi langsung yang terjadi di wilayah tugasnya.
Dijelaskan Diana, SDN Atti berada di tengah ladang, diselingi hutan, rawa-rawa, dan perairan. Sekolah ini berjarak sekitar 1 km dari pemukman kampung Atti.
Karena termasuk dalam wilayah 3T, jarak untuk sampai ke SDN Atti sangatlah jauh. Dari Ibu kota Provinsi Papua Selatan, Merauke dibutuhkan waktu perjalanan sekitar 9 jam, dengan rincian:
- Dari Merauke ke Ibukota Kabupaten Mappi, yakni Kepi di Distrik Obaa harus naik pesawat ATS sekitar 1 jam.
- Dari kepi, perjalanan melalui darat sekitar 2 jam menuju pelabuhan Agham.
- Dari pelabuhan Agham perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan perahu Ketiting menelusuri sungai Mappi menuju Kampung Khaumi di Kampung Atti selama 4 jam.
- Dari Kampung Atti tidak ada transportasi, sehingga harus berjalan kaki sekitar 2 jam hingga sampai di SDN Atti.
“Perjalanan bisa lebih panjang sekitar 23 jam bila dilakukan melalui darat,” tutup Diana.
(det/nwy)