Jakarta –
Ekspor Indonesia masih berada di peringkat 5 di ASEAN. Ekspor masih didominasi komoditas hasil bumi, Indonesia perlu revolusi deep tech untuk mentransformasi ekonominya.
“Ekspor Indonesia di ASEAN saat ini berada di peringkat ke-5, meskipun kita negara terbesar di ASEAN. Ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas hasil bumi, seperti batubara dan kelapa sawit, belum ada tambahan teknologi yang signifikan,” ujar Prof Nizam, champion program Massachusetts Institute of Technology-Regional Entrepreneurship Acceleration Program (MIT-REAP) di Indonesia terkait pentingnya revolusi deep tech bagi Indonesia, dalam keterangannya kepada detikEdu, Senin (11/11/2024).
Apa Itu Deep Tech?
Menurut situs United Nation Development Program (UNDP), deep tech atau teknologi mendalam mengacu pada teknologi mutakhir dan canggih yang seringkali bersifat disruptif atau mengubah sistem dan tatanan kehidupan masyarakat secara luas yang tadinya sudah mapan. Deep tech biasanya dibangun berdasarkan penemuan ilmiah yang mendalam, inovasi rekayasa, atau kemajuan dalam bidang penelitian yang berpotensi mengubah industri, ekonomi, dan kehidupan secara radikal.
Tidak seperti inovasi teknologi lain yang mungkin lebih bertahap, deep tech sering kali menandakan perubahan paradigma dalam cara memecahkan masalah. Hampir semua hal yang digunakan di dunia saat ini berakar pada teknologi mendalam pada titik tertentu: listrik, telepon, internet, mobil, pesawat, dll.
Pada intinya, perusahaan deep tech didorong oleh penelitian dan pengembangan (research and development/R&D) yang intensif, berkembang dalam ekosistem yang terdiri dari pendanaan publik, inovasi swasta, dan penelitian akademis. Alih-alih mengisolasi fokus mereka pada teknologi itu sendiri, sebagian besar usaha deep tech mengadopsi pendekatan yang berpusat pada masalah. Mereka mempertimbangkan tantangan yang mendesak dan kebutuhan yang belum terpenuhi baik dalam bisnis maupun ekonomi yang lebih luas yang berpotensi diselesaikan oleh teknologi mutakhir ini.
Contoh deep tech hari ini di bidang artificial intelligence (AI) seperti generative AI (ChatGPT dsb), di bidang material seperti superkonduktor, kristal cair, komposit nano dan sebagainya. Ada juga di bidang bioteknologi seperti rekayasa enzim, pengeditan gen dan sebagainya.
Mengapa Negara Berkembang Butuh Deep Tech?
Prof Nizam, yang juga Direktur Jenderal Dikti Ristek Kemendikbudristek periode 2021-2024 ini menyatakan bahwa tanpa inovasi teknologi, ekspor Indonesia akan terus tertinggal. Sementara negara tetangga seperti Vietnam telah mulai mengembangkan produk bernilai tambah tinggi, seperti otomotif dan elektronik, ekspor Indonesia masih berfokus pada komoditas mentah seperti batubara dan kelapa sawit.
“Jika kita tidak hati-hati, bonus demografi yang berkapasitas intelektual bisa hilang begitu saja tanpa mendorong Indonesia menjadi negara maju,” katanya.
Menurut Prof Nizam, deep tech adalah kunci bagi negara berkembang untuk keluar dari siklus pertumbuhan ekonomi yang lambat. Negara-negara yang telah berhasil mengalami transformasi ekonomi, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China, selalu memulai dengan pengembangan teknologi yang mendasari industri mereka.
“Ketika suatu negara hanya bergantung pada sumber daya alam, nilai tambahnya akan sangat kecil dan ekonomi negara tersebut akan bergantung pada tenaga kerja murah. Seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, Indonesia tidak boleh menjadi negara buruh. Kita harus menciptakan produk, kita harus menciptakan inovasi,” tutur Prof Nizam.
Belajar dari China: Pondasi Revolusi Teknologi Dimulai dari Riset
Prof Nizam menekankan bahwa China adalah contoh utama dalam transformasi ekonomi berbasis teknologi mendalam dari negara dengan demografi mirip Indonesia.
“Revolusi budaya kedua di China” yang digagas Xi Jinping, sebetulnya bukan hanya sebuah fenomena sosial, tetapi revolusi penggunaan deep tech,” imbuh guru besar UGM ini.
Pada akhir 1990-an, China mulai fokus menyediakan dana riset sebesar USD 60 miliar per tahun (kurs per 11 November 2024 setara: Rp 945 Triliun-red) serta menarik kembali ilmuwan yang belajar di luar negeri dengan insentif besar. Mereka juga membangun industri-industrinya dengan cara reverse engineering, membeli perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Lenovo dan VW, untuk dipelajari dan dikembangkan.
“Kita juga lihat bagaimana Jepang bangkit setelah Perang Dunia II. Meskipun produk Jepang saat itu dianggap kualitas kelas dua, mereka berhasil membangun industri otomotif yang akhirnya mendominasi pasar global. Korea juga mengalami hal yang sama. Setelah Perang Saudara, kondisi ekonominya lebih buruk dibandingkan Indonesia, namun mereka berhasil bangkit dan sekarang menjadi negara maju karena bersandar pada inovasi teknologi,” papar Prof Nizam.
Karena alasan itu juga, Prof Nizam berinisiatif membawa program MIT REAP ke Indonesia. Selain karena MIT menawarkan prospek transfer teknologi yang menjanjikan, MIT memiliki pengalaman puluhan tahun dalam memahami perkembangan inovasi di seluruh dunia.
“Selain pengalokasian dana yang lebih besar untuk riset dan pendidikan tinggi, MIT juga memahami pentingnya sebuah negara membangun ekosistem antara riset dan industri yang terhubung dengan baik,” jelasnya.
Pentingnya Membangun Ekosistem Riset dan Industri yang Baik
Prof Nizam juga menceritakan pengalamannya selama menjabat Dirjen Diktiristek pada 2021-2024 lalu. Di zamannya, Prof Nizam sebetulnya sudah memulai inisiatif program Kedaireka yang bertujuan untuk mempertemukan dunia akademik dan industri di Indonesia.
“Banyak perguruan tinggi di Indonesia yang menghasilkan riset, tapi sayangnya tidak dimanfaatkan industri karena mereka lebih memilih teknologi lisensi dari luar negeri,” jelas Prof Nizam.
Kedaireka berusaha menjembatani kesenjangan ini dengan konsep Matching Fund, di mana pemerintah dan industri bersama-sama mendanai proyek riset yang relevan dengan kebutuhan pasar. Program ini berlangsung sangat baik, dengan anggaran tahun 2022 mencapai angka Rp 11 Triliun untuk mendanai lebih dari 5.000 proposal. Ini menandakan keinginan industri untuk berkolaborasi dengan riset perguruan tinggi.
“Dengan kolaborasi dengan MIT, diharapkan riset bersama yang dilakukan lebih mengarah kepada deep tech terbaru, karena memang itu yg akan menghasilkan nilai tambah paling tinggi,” tuturnya.
Deep Tech Berbeda dengan Marketplace Digital
Deep tech berbeda dengan “marketplace digital”, yang memiliki beberapa kelemahan. Jumlah startup Indonesia saat ini tidak kalah banyak, termasuk terbesar ketiga di dunia. Namun, mayoritas startup ini adalah startup digital yang lebih berfokus pada marketplace, dan beberapa justru membuka pasar untuk produk luar negeri, karena Indonesia memiliki pasar konsumen yang sangat besar dengan 280 juta penduduk.
“Tidak jarang barang yang kita beli secara online datangnya bukan dari Bandung, Surabaya, atau Jakarta, melainkan dari Shenzhen (Cina),” tutur Prof Nizam menyayangkan.
Banyaknya produk luar negeri yang masuk ke pasar Indonesia melalui platform online ini, imbuhnya, karena semakin memperlihatkan lemahnya daya saing produk dalam negeri.
“Karena itu, yang harus kita ciptakan justru adalah “produk teknologi merah putih” yang memiliki nilai tambah tinggi. Kita harus fokus mengembangkan produk-produk inovasi yang bisa bersaing secara global,” imbaunya.
Di akhir wawancara, Prof Nizam menyampaikan pesannya kepada generasi muda Indonesia.
“Bangunlah ekosistem yang mendukung inovasi teknologi. Ini merupakan kesempatan ekonomi yang harus dikendalikan oleh anak-anak muda. Fokus kita saat ini haruslah melahirkan pengusaha-pengusaha muda yang bukan hanya berbasis digital marketplace, tetapi juga inovasi Deep Tech,” tutupnya.
Co-writer: Pratama Nugraha
(nwk/nwk)