Jakarta –
Pada pemerintahan baru periode 2024-2029, masyarakat banyak berharap adanya perbaikan dalam sistem pendidikan. Termasuk soal kepastian keberlanjutan Kurikulum Merdeka.
Setelah diterapkannya Kurikulum Merdeka, Ujian Nasional (UN) dan sistem zonasi menjadi perbincangan pakar hingga orang tua siswa. Sebagian berharap sistem UN diberlakukan kembali, sebaliknya zonasi dihapuskan.
Pada awal masa pemerintahannya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Kabinet Merah Putih, Prof Dr Abdul Mu’ti MEd telah menyinggung hal tersebut. Ia mengatakan untuk memastikannya perlu waktu dan tidak boleh terburu-buru.
“Kita tidak akan buru-buru mengambil kebijakan apalagi memang ada polemik yang sekarang ini masih terus terjadi di masyarakat. Jadi kami ingin agar kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah adalah kebijakan yang memang sesuai dengan apa yang menjadi arti rasa masyarakat,” katanya kepada wartawan, Senin (21/10/2024).
UN Tak Bisa Dijadikan Alat Kelulusan
Menanggapi polemik UN ini, pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Achmad Hidayatullah PhD mengatakan bahwa UN pada dasarnya merupakan evaluasi terhadap capaian belajar. Namun, realitanya nilai UN dijadikan alat kelulusan oleh sekolah.
“Saya pikir ini persoalan,ketika UN yang berlangsung 3 hari menjadi alat ukur kelulusan belajar siswa. Mungkin pemangku kebijakan berpikir UN memotivasi siswa untuk belajar, faktanya justru terjadi sebaliknya, banyak siswa yang stres dan kecurangan terjadi dimana-mana,” jelasnya, dilansir dari laman UM Surabaya, Selasa (29/10/2024).
Lulusan Doctoral School of Education University of Szeged, Hungaria berpendapat bahwa UN mempunyai beberapa kekurangan. Salah satunya bisa melemahkan karakters siswa.
“Evaluasi terhadap pembelajaran tidak perlu menggunakan ujian nasional, evaluasi terhadap hasil belajar bisa dilakukan di tingkat regional bahkan oleh satuan pendidikan,” imbuhnya.
Menurutnya, pemerintah cukup menekankan pembenahan Asesmen Nasional (AN). Perlu ada dukungan hingga penyempurnaan agar dampak dari AN bisa menjawab kebutuhan sekolah.
Zonasi Baik untuk Pemerataan Kualitas
Sempat ditentang banyak siswa dan orang tua, sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menurut Dayat adalah langkah yang baik. Pasalnya, zonasi dapat membuat pemerataan kualitas siswa di seluruh wilayah.
“Dalam implementasinya sistem zonasi memiliki beberapa permasalahan. Namun, tanpa zonasi kita akan kembali ke zaman dulu, yang mana gap sekolah favorit dan tidak favorit sangat terlihat. Ketimpangan semakin hidup,” kata Dayat.
Untuk membuat persetujuan siswa dan orang tua soal sistem zonasi, Dayat menyarankan agar komitmen dari pemangku kebijakan diperkuat. Misalnya dengan memperketat pengawasan selama proses pendaftaran PPDB.
“Jangan sampai kecurangan dengan memanipulasi alamat ini terjadi. Kualitas sekolah perlu juga ditingkatkan misalkan dengan peningkatan fasilitas sekolah dan memperkuat kualitas guru,” pungkasnya.
Selain masalah UN dan zonasi, Dayat juga meminta pemerintah agar memperhatikan masalah platform guru dan siswa. Seperti terkait hal administrasi yang banyak membebani mereka contohnya lewat Platform Merdeka Mengajar (PMM).
“Sehingga kalau guru atau siswa ditanya sejauh mana pembelajaran mereka selama ini, mereka tidak hanya menjawab ‘sesuai aplikasi pak’,” pungkasnya.
(cyu/faz)