Jakarta –
Satryo Soemantri Brodjonegoro akhirnya harus melepas jabatannya sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) pada Rabu (19/4/2025).
Ia menjadi menteri pertama yang diganti pada Kabinet Merah Putih. Bersama para menteri lainnya dalam kabinet tersebut, ia dilantik pada 21 Oktober 2024 lalu. Artinya, Satryo baru menyandang jabatan sebagai menteri kurang lebih 4 bulan.
Presiden Prabowo Subianto memutuskan menggantinya dengan Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Brian Yuliarto. Brian juga dikenal sebagai ilmuwan terkemuka di bidang nanomaterial untuk biosensor, energi, dan panel surya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satryo Profesor ITB Pernah Jabat Dirjen Dikti
Setelah menyelesaikan pendidikan di ITB, Satryo bergabung dengan almamaternya menjadi dosen jurusan Teknik Mesin. Ia kemudian mendapatkan gelar PhD di University of California, Berkeley, Amerika Serikat hingga menjadi guru besar bidang teknik mesin ITB.
Saat serah terima jabatan dengan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim (21/11/2024) lalu, Satryo menyatakan kepercayaan untuk menjadi menteri merupakan langkah untuk kembali ke Kementerian Pendidikan.
“Saya kembali ke habitat yang sudah saya tinggalkan sejak 2007,” kata Satryo. Ia memang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) pada periode 1999-2007. Saat itu, Ditjen Dikti berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional.
Setidaknya, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) periode 2018-2023 itu tercatat sebagai Dirjen Dikti terlama yang memegang tersebut yakni selama kurang lebih 8 tahun.
Pada masa awal jabatannya sebagai Dirjen Dikti, ia memperkenalkan konsep otonomi kampus yang disebut Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara.
Dalam wawancara khusus dengan detikedu pada Jumat (10/1/2025) lalu, Satryo sebagai penggagas menegaskan konsep otonomi kampus sering disalahpahami.
Menurutnya, otonomi kampus bukan soal swastanisasi pendidikan, tetapi memungkinkan dosen lebih leluasa mendidik generasi muda, mengadakan penelitian, riset, dan pengabdian masyarakat.
Dosen dapat lebih menyesuaikan cara mendidik, materi, serta membuat inovasi dalam konsep otonomi kampus sesungguhnya. Sementara itu, perguruan tinggi dapat menentukan kurikulum sesuai kebutuhan.
“Kalau semua diatur dari pusat, nggak ada kebebasan, nanti kan bisa nggak cocok kurikulumnya dengan kebutuhan masyarakat. Dan juga nggak cocok dengan passion atau kemampuan si dosen tersebut,” ujarnya saat itu.
Ia pun mengungkapkan saat memegang jabatan Dirjen Dikti, kementerian pendidikan sejumlah negara banyak yang “berguru” soal otonomi kampus kepadanya. Salah satunya, kementerian pendidikan Jepang pada 2001.
Saat mengunjungi Jepang, di depan para pimpinan kementerian pendidikan negara tersebut, Satryo mengaku mempresentasikan tentang otonomi kampus yang digagasnya.
Usai pertemuan tersebut, menurutnya Jepang lantas menggunakan konsep otonomi kampus. Bahkan dalam waktu 3 tahun semua kampus di Jepang telah diberikan otonomi oleh pemerintah.
“Tiga tahun pada 2004, semua (kampus) sudah otonomi di Jepang itu. Karena semua (pihak) komit,” kata Satryo.
Adapun di Indonesia meski sudah diterapkan sejak tahun 2000-an, Satryo mengaku tidak mudah. Pasalnya di Indonesia terbilang sulit untuk melakukan perubahan. “Jadi banyak orang itu sudah cenderung punya zona nyaman,” ujarnya.
(pal/pal)