Jakarta –
Perkembangan politeknik di Indonesia sebagai pendidikan vokasi sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) Ali Ridho Barakbah SKom PhD mewakil Forum Direktur Politeknik Negeri Se-Indonesia membeberkan perkembangan politeknik kini sudah sangat pesat.
Namun, ruang lingkupnya masih sangat kecil dan terbatas. Untuk itu, sejak pemerintahan eks Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, ia tengah memperjuangkan kehadiran fakultas di politeknik.
“Ini perjuangan yang belum selesai untuk memperjuangkan revisi Permendikbud 139/2014 di mana politeknik itu tidak diperbolehkan mempunyai fakultas,” ucap Ali dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi X DPR RI terkait Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Selasa (5/11/2024).
Dalam aturan itu, Ali menjelaskan tidak ada alasan secara eksplisit yang mengatur mengapa politeknik tidak boleh memiliki fakultas. Tetapi dugaan yang beredar lantaran politeknik merupakan lembaga pendidikan yang kecil.
Faktanya, politeknik Indonesia saat ini tengah berkembang dengan pesat. Bahkan beberapa politeknik memiliki mahasiswa di atas 10 ribu orang.
“Faktanya politeknik saat ini berkembang dengan pesat, ada yang student body (jumlah mahasiswa) di atas 10 ribu. Sedangkan banyak universitas yang baru tumbuh boleh punya fakultas,” tambah Ali.
Pentingnya Politeknik Punya Fakultas
Kehadiran fakultas di politeknik menurut Ali bisa membantu mengembangkan dan memenuhi permintaan hilirisasi serta riset terapan yang terus datang ke pihaknya. Kini, secara organisasi politeknik terbatas geraknya untuk memenuhi permintaan tersebut.
Dengan demikian ia berharap dengan kepemimpinan yang baru dan dukungan Komisi X DPR RI, Permendikbud Nomor 139 Tahun 2014 bisa direvisi.
Permasalahan Riset di Politeknik
Berbeda dengan perguruan tinggi akademik, riset yang terjadi di politeknik bersifat riset terapan. Riset ini ditujukan untuk mendapatkan solusi dari suatu masalah yang ada di industri, pemerintah, dan masyarakat termasuk daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T).
Meskipun sifatnya beda, Ali mengaku tetap mengalami masalah riset yang sama dengan perguruan tinggi akademik. Terutama berkaitan dengan hal praktis, seperti regulasi.
“Regulasi kita itu masih belum menyentuh value. Contohnya dosen membuat gerobak selama 5 jam dengan membuat nanochip 5 jam, itu regulasi masih menyentuh 5 jamnya bukan valuenya,” jelas Ali.
Ia meyakini memang sudah ada beberapa aturan yang mulai menyasar tentang ‘value’ itu sendiri, contohnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 136 Tahun 2021 tentang royalti. Tetapi aturan itu juga belum bisa menyelesaikan masalah yang ada dan masih terbatas.
Di politeknik, riset yang dikerjakan seringkali berjalan bersama dengan pihak mitra. Sehingga ketika selesai dan ingin diformalisasikan ke Hak Kekayaan Intelektual (HKI), politeknik tidak bisa melakukannya secara mandiri.
Hal ini berdampak pada tidak diberikannya royalti kepada peneliti yang belum berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Padahal seharusnya mereka berhak hal tersebut lantaran berpartisipasi pada riset.
“Otomatis pihak mitra pasti masuk namanya disitu dan itu didaftarkan atas nama perguruan tinggi. Ketika royalti HKI ada demand dan masuk ke institusi, itu pihak non-ASN tidak boleh diberikan (haknya),” tambahnya lagi.
Berbagai keterbatasan ini menjadi fakta dilapangan yang benar-benar nyata adanya. Dengan demikian, Ali berharap seluruh aspirasi yang ada bisa dikawal oleh pemerintahan terbaru dan Komisi X DPR RI.
(det/pal)