Jakarta –
Kata paylater mungkin bukan suatu hal yang aneh bagi generasi muda masa kini terutama generasi Z (gen Z). Mengutip laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Paylater adalah sistem pembayaran atau layanan untuk menunda pembayaran atau berhutang yang wajib dilunasi pada kemudian hari.
Dengan kata lain kita bisa membeli barang tanpa harus membayar langsung terlebih dahulu. Tetapi kita membayarnya dalam jangka waktu tertentu bisa bulan selanjutnya atau diangsur tiap bulan beserta bunganya.
Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Bayu Arie Fianto SE MBA Phd menjelaskan metode pembayaran ini sangat populer di kalangan gen Z. Terlebih tidak bisa dipungkiri bila gen Z dan teknologi memang menjadi dua hal yang tidak bisa terpisahkan.
Mereka mudah mengadopsi teknologi baru di berbagai bidang, termasuk dalam hal berbelanja. Bila dahulu pengajuan kredit memerlukan waktu yang lama, dengan Paylater kredit bisa dilakukan dalam hitungan menit atau bahkan detik bila sudah terdaftar.
Metode pembayaran ini juga telah diterapkan di berbagai platform teknologi baik e-commerce ataupun bank digital. Dengan penawaran yang sangat membludak, wajar bila pertumbuhan Paylater bisa meningkat pesat.
“Generasi muda Indonesia mudah mengadopsi teknologi baru dan berbelanja di e-commerce. Dengan adanya penawaran dari fintech yang terhubung dengan e-commerce, pertumbuhan Paylater ini tentu meningkat pesat,” kata Bayu Arie dikutip dari rilis di laman resmi Unair, Senin (22/7/2024).
Risiko Penggunaan Paylater
Kemenkeu menjelaskan Paylater bisa menyebabkan kecanduan karena kemudahan dalam bertransaksi. Hanya dengan satu kali klik, barang bisa didapatkan dengan mudah tanpa sadar konsekuensi yang akan dihadapi.
Akibatnya generasi muda bisa terjebak kegagalan bayar karena perilaku konsumtif dan bunga tinggi yang sangat membebankan dirinya sendiri. Menyeramkannya bila Paylater dilakukan pada platform yang tidak terpercaya, timbul risiko baru yakni potensi penyalahgunaan data pribadi.
Untuk itu, gen Z harus memahami kemampuan finansial mereka sebelum memutuskan menggunakan Paylater. Cara termudahnya adalah memahami literasi keuangan dengan baik.
“Generasi muda yang kurang literasi finansial bisa terjebak dalam hutang yang tidak perlu,” tambahnya.
Tidak hanya dari sisi pengguna, perusahaan fintech yang menyediakan Paylater juga harus memperhatikan regulasi dengan baik.
Semua fintech harus mendaftar dan memenuhi syarat yang telah ditetapkan pemerintah. Termasuk transparansi dalam hal prosedur, bunga, margin bagi hasil, dan tata cara pembayaran.
Karena ketika nasabah gagal bayar, penyedia layanan juga akan menanggung risiko besar seperti gulung tikar. Mengingat ada banyak industri serupa yang akhirnya menyebabkan persaingan ketat di industri fintech.
“Penyedia layanan harus mengelola likuiditas mereka dengan baik untuk menghindari kebangkrutan,” tambahnya.
Prospek Paylater di Masa Depan
Meskipun banyak risiko buruk yang ditimbulkan, dosen ekonomi syariah itu menjelaskan pertumbuhan Paylater dapat mendorong perekonomian. Lebih jauh, di masa depan Paylater juga memiliki prospek yang menjanjikan.
Hal ini melihat semakin banyaknya generasi yang mengadopsi teknologi digital. Mereka akhirnya menginginkan proses yang instan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Prospek Paylater menjanjikan, namun membutuhkan inovasi pemerintah, fintech, dan akademisi untuk mengedukasi masyarakat tentang literasi keuangan,” tutupnya.
(det/pal)