Jakarta –
Pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% terhadap sektor pendidikan menuai sorotan pakar. Hal ini karena pendidikan tidak seharusnya dijadikan sebagai objek pajak.
Pakar pendidikan dan Guru Besar Ekonomi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Prof Dr R Agus Sartono, MBA, mengatakan keputusan Pemerintah RI soal pengenaan PPN 12% terhadap sektor pendidikan hendaknya dibatalkan.
Menurutnya, jika pengenaan pajak ini dipaksakan, justru akan memperburuk capaian akses PT (perguruan tinggi) dan semakin membuat Indonesia tertinggal jauh dengan negara ASEAN lainnya.
“Pendidikan merupakan investasi jangka panjang dan tidak seharusnya justru dijadikan objek pajak,” ungkapnya kepada detikEdu, Kamis (19/12/2024).
Beban Masyarakat Semakin Berat
Sebelumnya, pada Senin (16/12/2024) lalu, Pemerintah RI telah mengumumkan pengenaan PPN 12% terhadap berbagai sektor yang disebut sebagai jasa kategori ‘premium’ per Januari 2025. Keputusan ini sejalan dengan UU Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Prof Agus menilai, pengenaan PPN sebesar 12% secara selektif menjadi dilematis. Terlebih karena pada awal Maret 2025, memasuki bulan puasa dan lebaran, yang umumnya terdapat kenaikan harga bahan pokok.
Selain itu, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai 8% masih ditopang oleh konsumsi masyarakat.
“Apabila pengenaan PPN tersebut tidak dapat diisolasi, maka dampaknya bisa menyasar ke sektor lain. Momentum lebaran dijadikan alasan untuk menyesuaikan harga dan akibatnya beban masyarakat semakin berat,” jelasnya.
Sementara itu, pada sektor pendidikan, pemerintah menyampaikan masih merumuskan sekolah atau lembaga mana yang termasuk layanan pendidikan ‘premium’. Namun, salah satu pendekatan yang akan dikenakan PPN 12% adalah yang bertaraf atau berstandar internasional.
“Kriteria premium sedang rumuskan. Salah satu pendekatannya adalah SPP atau biaya kuliahnya mahal dan atau berstandar internasional,” jelas Wahyu dalam detikFinance, dikutip Jumat (19/12/2024).
Terkait hal ini, Prof Agus berpendapat pengenaan PPN 12% terhadap ‘pendidikan bertaraf internasional’ sangatlah tidak tepat. Beberapa alasan ketidaktepatannya, yaitu:
1. Pemerintah sendiri yang gencar mendorong agar pendidikan RI memiliki kualitas bertaraf internasional.
2. Di berbagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) sudah lama berkembang International Undergraduate Program (IUP). Program ini telah menyumbang pembiayaan bagi PTN BH dan mampu menarik minat student exchange dari negara lain.
3. Keberadaan mahasiswa asing di PTN BH sangat penting dalam jangka panjang. Hal ini karena PT bisa melakukan ekspor jasa pendidikan dan bisa memunculkan indonesianis yang berperan besar dalam membangun hubungan bilateral antar negara.
4. Melalui IUP, PTN BH mampu memberikan subsidi silang bagi anak-anak dari keluarga yang secara ekonomi kurang mampu, sehingga mereka mendapatkan akses pendidikan tinggi.
“Oleh sebab itu, rencana pengenaan PPN 12% terhadap pendidikan bertaraf internasional sangat tidak tepat dan sebaiknya dibatalkan,” tegas profesor yang pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK tersebut.
Bagaimana Nasib Pendidikan Jika PPN 12% Tetap Dipaksakan?
Prof Agus memaparkan data yang menunjukkan bahwa populasi penduduk usia 19-23 tahun diperkirakan sekitar 27,39 juta pada 2025. Sementara angka partisipasi kasar (APK) ditargetkan sebesar 35%.
Itu artinya, jumlah mahasiswa akan mencapai 9,58 juta. Jumlah tersebut memerlukan peningkatan kapasitas-akses untuk 1,27 juta mahasiswa. Dalam hal ini, pada 2035, peningkatan akses diharapkan lebih besar lagi mencapai 5,21 juta.
“Pertanyaan mendasar adalah mengapa pada saat Pemerintah RI kesulitan meningkatkan akses, justru berencana menambah beban berupa PPN 12%? Belum lagi kita berbicara mengatasi luaran pendidikan yang tidak mampu diserap oleh industri,” ujar Prof Agus.
Menurutnya, ada banyak hal yang seharusnya diperhatikan baik-baik oleh Pemerintah RI saat ini. Terlebih, setiap tahun setidaknya ada sekitar 3,5 juta pencari kerja baru dan 50% berasal lulusan perguruan tinggi, sedangkan sisanya lulusan setingkat SLTA.
Pada saat yang sama, industrialisasi melambat akibat disrupsi teknologi. Otomatisasi tak terelakan, sehingga penyerapan tenaga kerja menurun.
“Ini menjadi persoalan lain yang harus dihadapi oleh pemerintah. Oleh sebab itu, saya berpandangan bahwa pengenaan PPN 12% terhadap sektor pendidikan hendaknya dibatalkan,” katanya.
Dia juga berpandangan bahwa seharusnya korupsi dapat ditekan, agar pembiayaan investasi sumber daya manusia menjadi cukup.
“Jika kita abai terhadap sektor pendidikan maka hanya masalah waktu saja kita justru akan makin terpuruk,” ucapnya.
“Janganlah menambah beban masyarakat,” tutup Prof Agus.
(faz/nah)