Jakarta –
Profesor menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah jabatan fungsional paling tinggi buat dosen yang masih aktif mengajar di perguruan tinggi.
Kalau ada yang berhasil mencapai gelar ini, ibaratnya masuk jajaran elite. Tentu saja sosok tersebut jadi kebanggaan baik institusinya maupun keluarga.
Gelar yang juga disebut guru besar ini memang begitu bergengsi. Jadi jangan heran panggilan sehari-hari untuk penyandangnya juga berubah, dari “Pak” atau “Bu” jadi “Prof”.
Hanya saja, kebiasaan itu tak berlaku bagi Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro yang juga guru besar emeritus Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada detikedu yang melakukan wawancara khusus di kantornya, Jumat (10/1/2024) lalu, pakar teknik mesin ini mengaku justru lebih nyaman dipanggil nama dengan hanya embel-embel “Pak” atau “Saudara” ketimbang disapa “Prof”.
Menurut eks Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu, satu hal yang sering dilupakan adalah profesor atau guru besar merupakan jabatan akademik.
“Alasannya sangat sederhana. Jadi kita kan masing-masing punya nama ya. Panggil namanya gitu kan paling tambahin Pak atau Saudara, silakanlah gitu. Kalau profesor itu kan jabatan akademik,” ujar Satryo.
Jabatan akademik tak serupa dan bukan gelar akademik. Gelar akademik, seperti sarjana, magister, atau doktor, sifatnya permanen dan tetap melekat pada orang yang sudah meraihnya.
Adapun jabatan akademik, sifatnya sementara dan ada batas waktunya.
“Kalau misalnya yang bersangkutan sudah tidak lagi mengajar, sebetulnya tidak bisa dipanggil profesor gitu. Itu intinya. Tapi kan ya karena banyak sekali rekan-rekan yang manggil saya Prof, karena emang saya masih mengajar waktu belum jadi menteri,” ujarnya.
Ia menyambung,”Kan sekarang nggak punya waktu (mengajar) nih. Jadi kan nggak ngajar sementara. Jadi nggak usah dipanggil ‘Prof’ gitu.”
Selain itu, Satryo mengaku punya argumentasi yang lebih mendalam. Ia mengaku gundah melihat gelar yang “agung” itu sangat mudah diperoleh. Bahkan dengan mengangkangi kaidah akademik.
“Sekarang banyak orang-orang, ya mohon maaf, mendapatkan profesor dengan cara yang terlalu mudah. Saya amati juga tidak sesuai dengan kaidah-kaidah akademik yang seharusnya,” katanya.
“Sehingga kalau beliau pakai profesornya, terus saya juga pakai profesor, dikira saya sama seperti dia. Gitu kan.”
Eks Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi periode 1999-2007 itu pun menginginkan agar figur yang menyandang gelar guru besar dihargai karena pencapaian akademisnya.
“Jadi saya mencoba untuk gerakan moral sebetulnya, ya kita nggak usah panggil prof-lah gitu loh. Panggil namanya aja sudah gitu ya. Ini upaya untuk mengurangi atau meniadakan penggunaan sebutan-sebutan yang tidak pada tempatnya,” ujarnya.
(pal/faz)