Jakarta –
Fenomena ‘militer masuk kampus’ tengah ramai dibahas. Hal ini usai kejadian militer hadir di ruang lingkup beberapa kampus mulai dari Universitas Indonesia (UI) hingga UIN Semarang.
Pada awal April 2025 lalu, TNI Angkatan Darat (AD) menyatakan perjanjian kerja sama yang dilakukan dengan Universitas Udayana, Bali. Namun, pada 15 April, Unud diketahui mengajukan surat permohonan pembatalan kerja sama.
Di UI, saat malam konsolidasi mahasiswa sekitar pertengahan April, ada anggota TNI yang datang ke kampus tanpa diundang. Kedatangan ini diklarifikasi dengan pernyataan Kapuspen TNI Brigjen Kristomei Sianturi yang mengatakan bahwa tidak ada kegiatan TNI yang memantau diskusi mahasiswa di UI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu di UIN Walisongo Semarang, aparat TNI diketahui mendatangi acara diskusi mahasiswa. Wakil Rektor I UIN Walisongo Semarang, Mukhsin Jamil, heran dengan datangnya anggota TNI untuk mendata peserta diskusi mahasiswa di kampusnya.
Merugikan Perkembangan Demokrasi
Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Subarsono, MSi, MA, mengatakan masuknya tentara ke beberapa kampus akhir-akhir ini dapat dibaca sebagai pertanda kekhawatiran yang berlebihan dari pemerintah terhadap aktivitas sivitas akademika. Ia menilai kekhawatiran terhadap kegiatan mahasiswa sebaiknya tidak perlu terjadi.
Menurutnya, bila pihak kampus melontarkan kritik yang keras pada pemerintah, maka bisa dijawab dengan data yang dimiliki, sehingga terjadi dialog dua arah dalam era demokrasi dan keterbukaan.
“Masuknya TNI ke kampus oleh beberapa pihak atau orang, dapat diinterpretasikan sebagai bentuk political pressure atau teror mental pada warga kampus agar tidak bersuara kritis dan ini justru bisa merugikan perkembangan demokrasi yang sudah dibangun sejak awal reformasi,” ucap Subarsono saat dihubungi detikEdu, Rabu (23/4/2025).
“Saya meyakini bahwa demokrasi akan tumbuh ketika perbedaan pendapat atau kritik diberikan ruang,” imbuhnya.
Subarsono percaya, bahwa TNI AD memiliki tanggung jawab besar dalam memelihara stabilitas politik dan keamanan negara. Namun sebaiknya dibarengi dengan strategi yang tepat sesuai dengan konteks kekinian di era demokrasi, keterbukaan dan transparansi.
“Konteks sekarang berbeda dengan era Orde Baru yang bersifat sentralistik dan otoritarian,” ujarnya.
Kebebasan Berpendapat Perlu Dikedepankan
Subarsono yang juga seorang pengamat kebijakan pendidikan, berpendapat bahwa setiap pihak di negara ini memiliki tugasnya masing-masing. Terutama dalam memelihara dan mengembangkan negara.
“Saya pikir, di masyarakat sipil, termasuk kalangan akademisi juga sama-sama memiliki kewajiban memelihara dan mengembangkan Republik Indonesia ini sesuai dengan bidangnya. Kebebasan berpendapat dan implementasi penghormatan hak-hak asasi manusia perlu lebih dikedepankan dalam praktek tata kelola pemerintahan saat ini,” ungkapnya.
Dalam hal ini, lanjutnya, rektor sebagai pimpinan perguruan tinggi atau universitas perlu bijaksana dan hati-hati, seandainya melakukan skema kerja sama dengan TNI AD. Tujuan kehati-hatian ini tak lain agar kebebasan kampus masih bisa terjaga.
Di sisi lain, ia juga menyoroti peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merespons isu yang ada. Kerja sama dengan Menteri Pendidikan Tinggi juga perlu dilakukan.
“DPR sebagai wakil rakyat saya pikir perlu segera merespons isu yang sensitif ini dengan melakukan dialog dengan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi dan sekaligus dengan Panglima ABRI, agar fenomena ini tidak menjadi bola liar yang menimbulkan berbagai interpretasi pada publik yang dapat merugikan perkembangan demokrasi,” papar Subarsono.
“Dari hasil dialog tersebut, kalau ada yang salah perlu segera diambil tindakan koreksi,” pungkasnya.
(faz/pal)