Jakarta –
Media sosial sempat diramaikan dengan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) penerima pengurangan UKT yang diwajibkan kerja paruh waktu di kampus. Kabar ini pun menarik perhatian masyarakat hingga pakar.
Akibat kebijakan itu, mahasiswa mengadakan aksi penolakan di kampus pada Kamis (26/9/2024). Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Teknologi Bandung (ITB), Jaka Sembiring, mengatakan pihaknya telah mencabut surel berisi edaran kebijakan kerja paruh waktu dan formulir pendaftarannya.
Dia mengatakan keterbatasan edaran kebijakan tersebut via surel membuat persepsi yang diterima mahasiswa berbeda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Terkait dengan yang viral kemarin, itu kelihatannya mungkin keterbatasan saluran informasi, keterbatasan penjelasan, sehingga persepsi yang diterima berbeda,” kata Jaka dalam pertemuan pimpinan ITB dengan sejumlah ketua program studi dan ketua himpunan mahasiswa di Ruang Annex, Gedung CCAR Lt 3 ITB Kampus Ganesha, Bandung, Kamis (26/9/2024) lalu.
Salah satu pakar Sosiologi dari Universitas Airlangga (Unair), Dr Tuti Budirahayu, beranggapan jika kebijakan kerja paruh waktu itu merupakan bentuk diskriminasi. Seperti apa penjelasannya?
Diskriminasi pada Mahasiswa
Menurut Tuti, kata ‘wajib’ dalam kebijakan itu menunjukkan kuasa dan diskriminasi dari pihak perguruan tinggi terhadap mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT secara penuh. Ia menilai jika kampus meminta imbalan berupa tenaga mahasiswa untuk meringankan beban universitas.
“Kondisi ini menurut saya sudah tidak sehat, karena universitas memposisikan diri sebagai perusahaan bukan lembaga pendidikan,” ungkap Tuti dalam laman Unair dikutip Jumat (11/10/2024).
Tuti beranggapan jika kampus benar-benar menerapkan kebijakan tersebut maka akan menambah beban mahasiswa. Kecuali jika kebijakan tersebut merupakan bagian dari kegiatan magang untuk mahasiswa semester tertentu dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) magang yang jelas. Dengan begitu, sambungnya, kegiatan itu bukan sekadar barter tenaga mahasiswa dengan UKT yang universitas turunkan.
Tawarkan Solusi
Tuti menegaskan jika beasiswa adalah hak yang harus mahasiswa peroleh. Khususnya bagi mereka yang punya keterbatasan ekonomi.
“Kebijakan tersebut terkesan seperti penindasan terhadap mahasiswa yang dianggap tidak mampu membayarUKT penuh. Padahal dalam prinsip-prinsip keadilan sosial, justru mereka yang lemah dan tidak mampu harus lebih diperhatikan dan dibantu. Bukan malah seperti menjadi buruh,” tegasTuti.
Dalam hal ini, Tuti menyarankan agar universitas melakukan evaluasi kebijakan agar saling menguntungkan kedua belah pihak. Solusi alternatif lain dapat berupa kerja sama kampus dengan perusahaan atau instansi mitra untuk memberikan bantuan beasiswa.
Dengan demikian, mahasiswa terbantu sekaligus bisa menjalani magang terstruktur di perusahaan dan instansi mitra kampus.
“Jika skemanya adalah memberi kesempatan magang kepada mahasiswa, maka kesempatan magang dengan SOP yang jelas dan terstruktur. Hal itu ke depan akan dapat memberikan wawasan baru dan pengalaman bagi mahasiswa untuk bekal setelah mereka menyelesaikan pendidikannya,” pungkas Tuti.
(nir/faz)