Jakarta –
Tim peneliti di Laboratorium Pirometalurgi Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM) Institut Teknologi Bandung (ITB) mengembangkan sebuah inovasi yang memungkinkan tanah diubah menjadi logam dalam waktu kurang dari dua menit.
Teknologi ini melibatkan proses plasma hidrogen. Ide yang diprakarsai oleh Zulfiadi Zulhan, dosen Teknik Metalurgi FTTM ITB tersebut lantas direalisasikan dalam bentuk reaktor khusus skala laboratorium.
Dengan teknologi ini, proses mendapatkan logam dari tanah mengandun besi yang biasanya memakan waktu berjam-jam dapat diselesaikan dalam hitungan menit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembuatan reaktor tersebut modifikasi alat pemotong baja atau plasma cutter yang tersedia di pasaran menjadi plasma hidrogen, sebuah proses yang dirancang Zulfiadi bersama teknisi laboratorium ITB Yopi Hendrawan.
Proses pengolahan logam dengan teknologi plasma hidrogen selain efisien dari segi durasi juga terbukti lebih ramah lingkungan dibanding teknologi konvensional.
Dalam waktu kurang dari dua menit, tanah yang mengandung besi dapat berubah menjadi logam besi tanpa memerlukan batu bara sebagai reduktor dan bahan bakar.
Saat ini, sebagian besar industri besi dan baja di dunia masih mengaplikasikan blast furnace dengan batu bara dalam bentuk kokas dan PCI (pulverized coal injection) sebagai reduktor dan bahan bakar. Padahal penggunaan batu bara skala masif disinyalir sebagai salah satu penyebab meningkatnya emisi gas CO2 sehingga temperatur muka bumi turut naik.
“Blast furnace salah satu alat yang dapat mengemisikan CO2 yang banyak. Eropa pada 2050 mungkin tidak boleh lagi ada blast furnace dioperasikan, Indonesia mungkin tahun 2060 ya,” ujar Zulfiadi saat menyampaikan orasi ilmiah berjudul Reaktor Plasma Hidrogen untuk Produksi Logam yang Ramah Lingkungan dalam pengukuhan guru besar ITB pada 12 Oktober 2024 lalu.
Lebih Cepat dan Hemat Energi Dibanding Alat Hasil Riset di AS, Jerman, dan Austria
Kepada detikedu, Zulfiadi menjelaskan penelitian ini memang “mengejar” kecepatan proses. Dibandingkan dengan riset di luar negeri (LN) seperti Montanuniversität Leoben, Austria dan Max-Planck-Institut für Eisenforschung GmbH, Jerman yang juga menggunakan plasma hidrogen, waktu proses peleburan logam dari tanah menjadi logam di reaktor plasma hidrogen ITB jauh lebih cepat.
Penelitian di Austria pada 2020 lalu mendapatkan waktu sekitar 23 menit untuk mereduksi 100 gram bijih besi laterit menjadi logam besi. Adapun daya listrik yang digunakan 6 kW.
Sementara riset di Jerman pada 2021 untuk melebur dan mereduksi 9 gram bijih besi hematit dibutuhkan waktu sekitar 30 menit. Daya listrik peleburan untuk membangkitkan plasma hidrogen dalam penelitian tersebut terbilang tinggi sekitar 35,2 kW.
Riset Plasma Hidrogen di Amerika Serikat >>>
Soal durasi waktu peleburan, kecepatan yang didapatkan reaktor plasma hidrogen ITB serupa dengan alat yang dirancang para peneliti dari Oak Ridge National Laboratory, Amerika Serikat.
Riset ilmuwan AS tersebut telah dipublikasikan pada 2024 di jurnal Sustainable Materials and Technologies. “Riset mereka juga mendapatkan kurang lebih 2 menit, memang sangat cepat,” ujar Zulfiadi kepada detikedu beberapa waktu lalu.
Hanya saja, rancangan peneliti AS membutuhkan daya listrik yang lebih besar. Arus yang digunakan dalam percobaan sebesar 160 Ampere (A) dan tegangan 16,4 Volt (V) yang berarti daya listrik sekitar 2,6 kW.
Sementara, reaktor plasma hidrogen ITB arus searah yang dialirkan sebesar 35 A dengan tegangan rata-rata sekitar 40 V atau daya listrik kurang lebih 1,4 kW. “Kebutuhan daya (riset Amerika Serikat) lebih besar,” ujar Zulfiadi.
Waktu yang lebih singkat dan daya listrik yang lebih kecil ini dapat disebabkan oleh penggunaan konsentrasi hidrogen yang besar, yang perlu diteliti lebih lanjut.
Dalam pidato ilmiahnya sebagai guru besar bidang pirometalurgi, Zulfiadi menyatakan, “Hasilnya (reaktor plasma hidrogen ITB) jika kami bandingkan dengan temuan di tempat lain yang kami dapatkan di laboratorium hari ini termasuk yang cepat dengan power terhadap berat yang lebih kecil.”
Zulfiadi adalah seorang dosen berpengalaman di bidang pengolahan logam. Gelar doktoralnya diperoleh dari Institute for Ferrous Metallurgy (IEHK, Institut fuer Eisenhuettenkunde) di RWTH Aachen University, Jerman, yang dikenal sebagai salah satu universitas terbaik di negara tersebut.
Universitas ini juga pernah menjadi tempat studi BJ Habibie, ilmuwan Indonesia ternama dan Presiden ketiga Republik Indonesia.
Ketika lulus dari RWTH Aachen di tahun 2006, putra Aceh ini meraih penghargaan bergengsi, Ludwig von Bogdandy-Preis, sebagai ilmuwan muda berprestasi.
Penghargaan itu diberikan atas hasil penelitian Zulfiadi di bidang metalurgi yang dianggap inovatif serta berguna bagi masa depan. Menariknya, putra Aceh ini merupakan peneliti dari luar Jerman pertama yang mendapatkan penghargaan tersebut.
Selain itu, suami Sri Yulis ini juga menerima penghargaan Borchers Plakette karena menyelesaikan program doktoralnya dengan predikat tertinggi, summa cum laude.
Risetnya saat doktoral itu dilirik oleh kalangan industri pengolahan baja. Begitu lulus, Zulfiadi langsung dikontrak Siemens VAI, sebuah perusahaan logam di Jerman.
Zulfiadi menuturkan pembimbingnya di RWTH Aachen yang menganjurkan agar dirinya mencari pengalaman di industri di Jerman sebelum kembali ke Indonesia. Selepas kontrak tersebut, ia memutuskan kembali ke Tanah Air untuk mengajar dan meneliti di almamaternya.