Jakarta –
Indonesia tak hanya membutuhkan wirausahawan, tapi wirausahawan yang berbasis inovasi dan teknologi! Tak bisa hanya mengandalkan kompetisi harga dan efisiensi produksi semata.
Itulah kesimpulan yang dilontarkan co-champion program Massachusetts Institute of Technology-Regional Entrepreneurship Acceleration Program (MIT-REAP) Salman Subakat, yang juga CEO Nurhayati Subakat Entrepreneurship Institute (NSEI) ParagonCorp.
“Jika kita membahas entrepreneurship, maka inovasi dan teknologi harus terlibat. Sayangnya, banyak entrepreneur Indonesia yang belum berfokus pada inovasi dan teknologi,” ujar Salman dalam keterangan yang diterima detikEdu, Jumat (22/11/2024).
Pengembangan Bisnis dengan Teknologi dan Inovasi
Salman yang juga co-founder ParagonCorp grup yang menaungi Wardah, Kahf, Emina, MakeOver, dsb mengatakan ParagonCorp yang didirikan sang ibunda Nurhayati Subakat adalah perusahaan berbasis inovasi teknologi.
“Dua founders kami memiliki latar belakang di bidang teknologi. Satu di bidang formulasi kosmetik, satu lagi di bidang fabrikasi, yang membuat konstruksi engineering rumit untuk memproduksi kosmetik,” ujar Salman.
Sampai sekarang pun imbuh Salman, ParagonCorp tetap mengutamakan teknologi dan inovasi sehingga membuat Wardah dan produk-produk ParagonCorp lainnya tetap unggul di pasar.
“Bayangkan kalau tanpa inovasi teknologi, Paragon akan terus-terusan berkutat dengan kompetisi harga atau efisiensi/kecepatan produksi, tidak akan ada kreativitas menciptakan produk-produk yang baru dan cutting-edge,” jelas alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Jadi, keliru kalau membayangkan sebuah perusahaan bisa menjadi market leader hanya karena kompetisi harga seperti menjual produk paling murah atau paling cepat bisa keluar barangnya.
Kesalahpahaman tentang Kewirausahaan/Entrepreneurship di Indonesia
Salman menekankan bahwa sering terjadi kesalahpahaman di Indonesia antara arti “wirausahawan” (entrepreneur) dan “pekerja mandiri” (self-employed).
“Banyak yang menganggap dirinya wirausahawan, padahal sebenarnya dia pekerja mandiri, yang seringkali bekerja di sektor informal,” imbuh Salman.
Sektor informal, dengan ukuran modal yang kecil dan tidak membutuhkan keahlian khusus, biasanya tidak akan melibatkan teknologi. Porsi sektor informal saat ini sangat besar di Indonesia, karena itu Salman menilai tidak berkembang dalam upgrade kemampuan teknologi.
“Sebenarnya, entrepreneurship itu kemungkinan besar akan melibatkan teknologi. Karena skala ekonominya yang besar, teknologi pasti digunakan dalam sistem bisnis dan produksinya,” ujarnya.
Teknologi ini dapat berupa teknologi manufaktur untuk efisiensi produksi (sehingga harga menjadi murah), atau melibatkan teknologi inovatif. Karena itu, entrepreneurship sebetulnya akan mendorong masyarakat Indonesia untuk menjadi lebih melek teknologi dan skill khusus.
“Selain itu, dalam framework MIT, entrepreneurship capacity (E-Cap) di sebuah negara harus dibarengi oleh innovation capacity (I-Cap), kalau negara tersebut mau menjadi negara maju. Saat ini, kita terlalu fokus mengembangkan aspek kewirausahaan (E-Cap) tanpa memperhatikan aspek inovasi (I-Cap). Akibatnya, banyak pengusaha yang terfokus pada “kewirausahaan manufaktur” tadi, yang menggunakan teknologi untuk kompetisi harga dan efisiensi produksi saja, bukan “kewirausahaan inovasi” yang mengeksplorasi kreativitas untuk mengembangkan produk baru,” urai Salman.
Keterhubungan Hasil Riset Kampus-Dunia Industri Masih Kurang
Selama ini, para peneliti di universitas dan lab-lab tidak pernah terpikir untuk memasarkan hasil risetnya. Di sisi lain, para wirausahawan juga tidak terpikir untuk mencari produk hasil riset di universitas, padahal kalau digabung akan sangat powerful. Kehadiran “kewirausahaan inovasi” ini adalah syarat menjadi negara maju.
“Amerika Serikat, contohnya, berkembang pesat bukan karena industri manufaktur mobilnya saja di Michigan, tetapi karena inovasi semikonduktor di Silicon Valley/California,” tutur Salman.
Untuk itulah Salman menekankan pentingnya teknologi inovatif untuk kewirausahaan. Teknologi inovatif macam apa yang Salman maksud?
Pentingnya Deep Tech di Indonesia
Inovasi ini dapat berupa inovasi digital ataupun inovasi deep tech (teknologi berdasarkan riset mendalam yang memecahkan masalah besar dalam masyarakat) lainnya.
“Selain berpotensi menumbuhkan ekonomi sebuah negara secara signifikan, yang membuat saya passionate dengan deep tech adalah untuk menguasai suatu inovasi teknologi, talenta-talenta baru akan bermunculan. Jadi, saya benar-benar percaya bahwa dengan mengejar deep tech, kita akan mengembangkan SDM yang kuat di Indonesia, dan juga menciptakan lapangan kerja yang lebih luas,” tutur Salman.
Salman menilai talenta Indonesia tidak kalah dengan talenta luar negeri. Talenta Indonesia yang tak kalah berkualitas ini jadi sayang bila tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang benar-benar menantang dan jangka panjang seperti deep tech.
Butuh Ekosistem yang Mendukung
Sayangnya, menumbuhkan kewirausahaan berbasis inovasi ini tidak mudah karena membutuhkan ekosistem yang mendukung. Itulah mengapa, sejak 2023, Salman bersama 8 orang tim inti lainnya berkolaborasi membangun program MIT REAP yang bertujuan membangun ekosistem inovasi di Indonesia.
“Ekosistem inovasi ini harus bersifat end-to-end – dari hulu ke hilir. Dari para peneliti di universitas, hingga pembeli industri (offtaker) di akhir rantai suplai nya, semuanya harus ada,” jelas dia.
Salman meyakini bahwa teknologi dan inovasi pasti dapat meningkatkan ekonomi Indonesia, meskipun hasilnya memerlukan waktu.
“Banyak orang tidak menyadari bahwa menguasai suatu teknologi itu memerlukan waktu. Bisa memakan 5 hingga 10 tahun hingga hasilnya terlihat,” tuturnya.
Visi yang selaras antara inovator dan pelaku bisnis juga adalah kunci untuk menciptakan ekosistem inovasi.
“Para inovator dan entrepreneur harus bersatu. Kini sudah banyak contoh yang bisa kita pelajari, tidak hanya melihat ke Barat, tetapi juga bagaimana negara seperti China dan India bisa berakselerasi dalam teknologi.”
Co-writer: Pratama Nugraha
(nwk/nwk)