Jakarta –
Kondisi disabilitas tak sepenuhnya menjadi keterbatasan seseorang untuk meraih impian. Seperti yang berhasil dibuktikan oleh Nadhifa Ramadhani, yang berhasil diterima kampus di Amerika Serikat.
Nadhifa adalah seorang atlet bola basket kursi roda dan awardee beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) 2024 di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Namun, perjalanannya menuju titik tersebut tak mudah.
Pasalnya, Nadhifa bukanlah penyandang disabilitas tunadaksa sejak kecil. Bagaimana perjalanan Nadhifa menyakinkan dirinya dan mampu meraih beasiswa seperti sekarang?
Mengutip laman LPDP Kemenkeu, ini kisah Nadhifa selengkapnya.
Kenyataan Pahit: Kaki Harus Diamputasi
Pada 2012, Nadhifa harus mendapatkan kenyataan pahit. Kanker tulang yang ia derita semakin menjalar ke tubuhnya.
Mau tidak mau, nyawa Nadhifa harus diselamatkan dengan cara mengamputasi kakinya. Saat mendengar hal tersebut, pikiran Nadhifa langsung dipenuhi stereotip orang lain soal dirinya.
“Kalau boleh jujur perasaan pertama yang aku rasakan justru adalah sedih, coping mechanism-ku pertama adalah keluarga, keluarga benar-benar support system-ku banget karena mereka adalah orang-orang yang benar-benar bisa bikin aku tetap ketawa gitu di saat-saat yang sulit karena aku harus menjalani kemoterapi yang kayak dulu seperti nggak ada ujungnya gitu, tapi mereka bisa tetap bikin aku semangat karena mereka selalu ada di situ,” ungkapnya.
Padahal, kala itu Nadhifa tengah gemar sekali bermain bola basket. Namun, kini ia harus menerima kenyataan dirinya tak bisa menjadi atlet basket normal.
Tanding Basket Kursi Roda sampai Malaysia
Walaupun kini terbatas, Nadhifa tak ingin berfokus pada hal tersebut. Ia sadar dirinya bisa tetap menjadi atlet basket meski harus menggunakan kursi roda.
Ia masuk komunitas Jakarta Swift Wheelchair Ball pada tahun 2019. Sejak saat itu, motivasi Nadhifa jadi atlet basket semakin tinggi.
Kegigihannya telah membawa Nadhifa bertanding ke Bali bahkan luar negeri yakni Malaysia. Berkat menjadi atlet di sana, Nadhifa juga bertemu dengan suaminya yakni Ali Amran Al Afif yang juga sesama atlet basket kursi roda.
“Jadi kami berdua sama-sama atlet basket, awalnya sebagai teman saja, lama-lama setelah ngobrol dan menjadi sahabat, lama-lama kami merasa cocok lalu kami memutuskan untuk menikah,” katanya.
Dapat Beasiswa S2 LPDP di Columbia University
Dari sang suami juga, Nadhifa menjadi semangat dalam melanjutkan pendidikan. Sebelumnya, Ali lolos beasiswa LPDP di Columbia University pada tahun lalu.
Tak mau tertinggal kesempatan, Nadhifa pun mencoba daftar di tahun ini. Akhirnya ia lolos di kampus yang sama dengan jurusan Nutrition and Exercise Physiology.
“Sejujurnya saya juga mengikuti, karena saya juga terinspirasi oleh suami, jadi karena suami sudah mulai duluan satu tahun terlebih dahulu, jadi begitu suami dapat LPDP, saya ter-encourage untuk juga mendaftar LPDP karena menurut kami berdua pendidikan itu juga salah satu yang bisa menaikkan value kami sebagai seorang disabilitas,” tuturnya.
Alasan Nadhifa memilih tersebut karena ingin menjadi seorang ahli gizi untuk atlet olahraga. Dengan begitu, ia akan belajar ilmu tersebut selama nanti di AS.
“Jadi salah satu keinginanku adalah untuk membantu teman-teman atlet disabilitas untuk lebih mengerti terkait gizi, karena gizi pada atlet sangat berpengaruh kepada performa mereka” terangnya.
Dari kisahnya, Nadhifa berharap para penyandang disabilitas lain dapat optimis juga dalam mengejar pendidikan. Ia bersyukur berkat beasiswa LPDP mimpinya menjadi ahli gizi olahraga akan segera diraih.
“Yang pastinya kita juga punya kesempatan lebih, diberi kesempatan lebih untuk menjadi salah satu awardee di LPDP dan menurut saya jangan takut untuk mencoba karena sepertinya LPDP terlalu tinggi (sulit), tapi kita bisa lanjut sekolah untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan tentunya bisa memiliki dampak yang lebih besar kalau kita memiliki pendidikan yang lebih tinggi juga. Jadi teman-teman disabilitas jangan takut, dicoba aja dulu”, tutup Nadhifa.
(cyu/faz)