Jakarta –
Tidak hanya guru, Ketua Serikat Pekerja Kampus (SPK) Dr Dhia Al Uyun beberkan kesejahteraan dosen di Indonesia masih perlu diperhatikan. Terlebih beban yang diberikan kepada dosen sangatlah berat.
Dhia bahkan mengibaratkan dosen sebagai ‘manusia setengah dewa’ karena banyaknya kewajiban yang harus dipenuhi. Seperti mengajar, melakukan penelitian, melakukan pengabdian, tuntutan publikasi setiap riset, hingga harus patuh pada pimpinan.
Ketentuan harus patuhnya kepada pimpinan dijelaskan Dhia tertera dalam PermenPAN-RB Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Jabatan Fungsional. Akibatnya pimpinan dapat menghambat masalah kenaikan pangkat, pemberian gelar, profesor, hingga masalah pemecatan bagi dosen swasta.
“Like and dislike ini membuat pengangkatan, promosi menjadi subjektif dan diskriminatif tidak pro terhadap kebebasan akademik,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi X DPR RI terkait Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Selasa (5/11/2024).
Dosen Menanggung Beban Maksimum
Ketua serikat yang beranggotakan lebih dari 800 peserta ini menyatakan untuk bisa masuk ke perguruan tinggi sangatlah berdarah-darah. Ketika masuk, gaji yang diberikan tidak sesuai atau hanya 80%.
“Kami dosen itu masuk perguruan tinggi berdarah-darah dan kemudian diproses itu kami hanya dapat gaji sekitar 80% atau sebanyak Rp 1-Rp 2 juta paling banyak,” tambahnya.
Dhia juga menjelaskan sulitnya dosen untuk naik pangkat. Memproduksi banyak jurnal tidak menjamin seseorang bisa naik pangkat dengan mudah.
Pun kalau pada akhirnya seorang dosen naik pangkat, besaran gaji yang diberikan juga tidak besar. Hanya sekitar Rp 200-Rp 300 ribu saja.
Ada Dosen CPNS Diminta Tugas Belajar Tapi Tak Dibiayai
Dituntut banyak hal, pengembangan keilmuan dan kompetensi dosen justru banyak yang tidak didukung pihak kampus. Dosen kesulitan mendapat beasiswa tetapi tetap diharuskan untuk sekolah lanjut.
“Dosen dengan tubel (tugas belajar) masih harus mencari tambahan untuk sekolah, mencukupi kebutuhan hidup, dan support dari kampus sebatas bantuan. Saat ini mereka harus merangkap di struktural dan beban tridharma,” ucap Dhia.
Terakhir beban maksimum seorang dosen tumbuh di masalah sertifikasi. Sertifikasi dosen dinilai tidak berjalan secara otomatis melainkan dipenuhi syarat seleksi seperti seleksi masuk dosen.
“Jadi kalau kita ingin dapat tambahan satu kali gaji, itu kita harus menyelesaikan serdos (sertifikasi dosen). Tesnya harus upaya juga keluar duit lagi, kemudian mau mengembangkan keilmuan harus mengeluarkan dana lagi,” ceritanya.
“Di salah satu kampus di Jawa Tengah, itu ada CPNS untuk tugas belajar di internal lingkungan kampus tetapi tidak dibiayai oleh kampus. Ini kan zalim, tapi ini terjadi di lingkungan perguruan tinggi kita,” tambah Dhia.
Dosen Kerja Sampingan Imbas Take Home Pay di Bawah Rp 2 Juta
Dengan kewajiban yang banyak ini, dosen hanya mendapat take home pay (gaji keseluruhan) di bawah Rp 3 juta untuk dosen perguruan tinggi negeri (PTN) hingga di bawah Rp 2 juta bila ia dosen perguruan tinggi swasta (PTS). Data ini didapatkan SKP dari survey yang melibatkan 1200 dosen di seluruh Indonesia.
Sebanyak 61% dari 1.200 (peserta survey) menyatakan beban tidak sebanding dengan kompensasi. Secara umum dosen dengan jenjang pendidikan S2 seharusnya mendapat Rp 10-30 juta.
Pendapatan yang minim membuat 76% dosen memilih kerja sampingan bahkan setelah 10 tahun bekerja. Dampak dari fenomena ini 72,2% dosen mengalami kelelahan kerja tinggi yang berujung kejadian mengerikan seperti terjerat pinjaman online, hilang kontak, terganggu kesehatan mentalnya hingga meninggal dunia.
“Dosen-dosen di Indonesia, kayanya karena kerja sampingan bukan karena profesi sebagai dosen,” tegas Dhia.
Dosen Perlu Upah yang Layak
Dari penjelasan tersebut SPK meminta 4 tuntutan yakni:
1. Memberikan upah yang layak untuk dosen dengan gaji minimal R0 10 juta/bulan tanpa melihat status dosen. Bila terlalu berat standar gaji yang layak bagi dosen minimum 3 kali dari UMR dan tenaga kependidikan 2 kali dari UMR suatu daerah.
2. Hapus beban kerja dosen (BKD).
3. Menghentikan pengkotakan dosen dan cabut PermenPAN-RB Nomor 1 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2024.
4. Transparansi manajemen kampus, jaminan kebebasan akademik, biarkan pekerja kampus berserikat, dan berikan sanksi (pembekuan/penutupan) pada kampus (terutama swasta) yang tidak beri upah layak.
(det/nwk)