Jakarta –
Polemik sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi fokus penting yang terus dikaji Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Hal tersebut ditegaskan oleh Abdul Mu’ti selaku Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen).
“Sekarang masih omon-omon, belum ada keputusan. Masih (proses) pengkajian dari usulan-usulan yang sudah ada,” ungkapnya kepada detikEdu di kantornya, Gedung Kemendikdasmen, Jl Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Sebelumnya, Mu’ti bertemu dengan kepala dinas pendidikan se-Indonesia dalam rapat koordinasi Kemendikdasmen. Hasilnya, pemerintah daerah mengatakan PPDB berbasis zonasi sudah sejalan dengan upaya pemerataan akses dan mutu pendidikan tetapi perlu upaya lanjutan.
Kini Kemendikdasmen masih menggodok segala masukan yang ada terkait PPDB dan sistem zonasi. Ia berharap keputusan akhir bisa disampaikan pada bulan Februari 2025 mendatang.
“Kami masih menggodok, belum ada keputusan. Tapi kami berharap di bulan Februari nanti sudah bisa kami putuskan. Sehingga tahun pelajaran 2025-2026 yang dimulai pada bulan Juli sudah ada sistem baru,” katanya lagi.
Skema Perbaikan PPDB Zonasi
1. Zonasi Lebih Fleksibel
Mu’ti mengakui ada beberapa hal teknis dalam PPDB zonasi yang perlu disempurnakan atau evaluasi. Salah satunya adalah masalah jarak.
Temuan di lapangan memperlihatkan seorang siswa tidak bisa mendaftar ke sekolah tertentu karena beda wilayah administrasi baik secara kecamatan, kabupaten, atau bahkan provinsi. Padahal jarak siswa tersebut ke sekolah yang berbeda wilayah administrasi relatif lebih dekat ke rumahnya.
Perbedaan wilayah administrasi membuatnya harus mendaftar ke sekolah yang sesuai ketentuan meskipun alamatnya jauh dari sekolah. Hal inilah yang perlu dievaluasi.
“Misalnya begini, orang yang tinggal di Ciputat kemudian (jaraknya) dengan Jakarta lebih dekat dibandingkan harus ke Tangerang Selatan. Nah, karena zonasi itu kan dia enggak boleh ke Jakarta, walaupun secara jarak lebih dekat,” jelas Mu’ti.
“Cuma karena wilayah administrasinya itu berbeda, dia tidak bisa ke situ. Harus ke sekolah yang dalam wilayahnya padahal sekolahnya mungkin lebih jauh. Nah, yang begini kan harus kita lihat,” tambahnya.
Untuk itu skema perbaikan sistem zonasi pertama yang disampaikannya mengusung sifat fleksibilitas. Sehingga zonasi tidak terlalu kaku penerapannya di lapangan.
2. SMA Gunakan Sistem Rayon
Mu’ti mendapatkan usulan pembagian besaran kuota PPDB Zonasi. Di mana SD kemungkinan memuat kuota zonasi hingga 90% dan SMP sebesar 30-40%.
“Ada yang mengusulkan SD zonasi itu katakanlah 90% dari mereka yang tinggal berdekatan. SMP mungkin 30-40 (persen) misalnya. Sedangkan SMK kan tidak ada zonasi, memang bebas ya,” ujarnya.
Sedangkan SMA bukan menggunakan sistem zonasi tetapi rayonisasi. Alasannya karena di setiap satu kecamatan belum tentu memiliki satu SMA.
“Tapi persentasenya (untuk zonasi) yang dikurangi cukup 10% saja misalnya. Yang lain melalui tempat lain (jalur penerimaan lain) prestasi, afirmasi, atau mutasi,” urai Mu’ti.
Meski begitu, dua skema tersebut masih pendapat dan masukan semata. Kemendikdasmen akan terus menggodok pendapat yang datang dan diputuskan sebelum tahun ajaran baru 2025-2026.
“Sudah mengerucut (skema pilihannya), tapi belum dibungkus,” imbuh Mu’ti soal PPDB zonasi.
Sebagai informasi rayonisasi adalah pembagian wilayah dalam penerimaan siswa baru. Mengutip laman resmi Kemendikbud, sistem ini diganti menjadi zonasi pada tahun 2018 lalu kala Mendikbud Muhadjir Effendy menjabat.
Menurut Muhadjir rayonisasi lebih memperhatikan pada capaian siswa di bidang akademik, sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak/radius antara rumah siswa dengan sekolah. Dengan demikian, maka siapa yang lebih dekat dengan sekolah lebih berhak mendapatkan layanan pendidikan dari sekolah itu.
(det/det)