Jakarta –
Dekan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Maryono bantah bila sekolah menengah kejuruan (SMK) menjadi jenjang pendidikan yang menyumbang pengangguran paling besar. Karena kini banyak anak SMK yang memilih melanjutkan pendidikan tinggi dibanding bekerja.
“Tahun lalu pengangguran terbesar itu dari SMK sebetulnya salah statistiknya itu. Karena anak-anak SMA yang menganggur itu kan dia harus sekolah (kuliah). Kalau sekolah dia dianggap tidak nganggur (SMA) tapi kalau SMK sekolah (kuliah) dianggap nganggur karena tidak dapat pekerjaan. Sehingga banyak jumlahnya,” beber Agus.
Hal itu disampaikannya dalam acara Vocationomics di Hotel Pullman Jakarta Central Park, Jakarta Barat, Selasa (3/12/2024).
Benarkah SMK Penyumbang Pengguran Terbesar?
Ketika kembali dipastikan benarkah statistik menghitung tingkat pengangguran seperti yang ia sampaikan, Agus membenarkan.
“Ya hitungnya begitu dalam statistik itu. Kan yang bekerja kalau sekolah tidak bekerja itu nganggur masuknya kalau SMK,” tambahnya lagi.
Namun Agus tidak menyebutkan data tahun berapa yang ia gunakan. Baru-baru ini Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data terbaru tentang Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Agustus 2024. Hal ini dituangkan dalam Berita Resmi Statistik BPS No. 83/11/Th. XXVII, 5 November 2024.
Selaras dengan Agus, dalam data tersebut memang bukan jenjang pendidikan SMK yang memuat pengangguran terbanyak. Distribusi pengangguran menurut pendidikan justru didominasi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Data tersebut diambil selama periode Agustus 2022-Agustus 2024. Lulusan SMA yang menganggur mencapai 30,72 persen. Secara lengkap, distribusi tingkat pengangguran berdasarkan pendidikan tertinggi:
- SMA: 30,72 persen
- SMK: 24,65 persen
- SD ke bawah: 16,45 persen
- SMP: 14,61 persen
- Diploma IV, S1, S2, S3: 11,28 persen
- Diploma I, II, III: 2,29 persen
Waktu Tunggu Kerja SMK-Vokasi Lebih Singkat
Lebih lanjut, Agus menuturkan menurut data BPS waktu tunggu kerja lulusan SMK dan Vokasi lebih singkat. Lulusan SMK hanya memerlukan waktu 0-2 bulan untuk bisa diterima kerja.
“Sebanyak 240 ribu (siswa SMK hanya menunggu waktu kerja) 0-2 bulan, 60 ribu siswa SMK 2-4 bulan, kemudian selebihnya lebih dari 6 bulan,” ucapnya.
Agus menjelaskan hasil lebih menggembirakan dicatatkan oleh lulusan Sekolah Vokasi D3 atau D4, sebanyak 30% mahasiswa sudah diterima kerja setelah lulus kuliah. Di UGM sebanyak 33,6% mahasiswa sudah diterima kerja bahkan sebelum lulus kuliah dengan rata-rata masa tunggu 4 bulan.
“Itu terbaik dibandingkan selain fakultas lain di UGM. Oleh karena itu, vokasi on the right track dalam mengajari mahasiswa menjadi paripurna. Mahasiswa punya segalanya (ilmu dan skill) sehingga di lapangan ia akan dicari (industri),” pungkasnya.
(det/pal)