Jakarta –
Sebagian masyarakat mengeluhkan dana Program Indonesia Pintar (PIP) tidak tepat sasaran. Keluhan ini antara lain lantaran siswa yang dinilai tidak cukup miskin rupanya mendapakan dana PIP, sedangkan siswa yang benar-benar tidak mampu justru tidak mendapatkan bantuan pendidikan ini.
Merespons masalah PIP ini, Ketua Tim Kerja PIP Dikdasmen, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) Sofiana Nurjanah menjelaskan kaitan ketepatan sasaran penerima PIP dengan Data Pokok Pendidikan (Dapodik), sekolah, dan data kemiskinan milik negara negara.
Sofiana mengatakan, Dapodik berisi data siswa, guru, sekolah, aset, nilai, dan rapat. Kolom penghasilan orang tua tidak digunakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena Dapodik tidak memiliki layer data kemiskinan, maka sumber data kemiskinan yang digunakan dalam PIP adalah Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial, Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) Badan Pusat Statistik (BPS), dan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) Kementerian Koodinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK). Khusus DTSEN yang baru diluncurkan akan digunakan untuk PIP pada triwulan kedua 2025.
Ia menjelaskan data kemiskinan milik negara tersebut memiliki margin error 5 persen. Untuk itu, siswa miskin yang tidak terdata di data kemiskinan ini perlu diusulkan oleh satuan pendidikan atau sekolah. Dalam hal ini, sekolah menandai setiap siswa miskin berdasarkan tolok ukur di daerahnya sebagai “Layak” di Dapodik, yang artinya layak menerima bantuan pendidikan seperti PIP.
“PIP ditandai, dilengkapi, sehingga lengkap datanya, valid NIK-nya, dan kemudian logis pula datanya, barulah kami SK-kan. Jadi (penetapan siswa penerima PIP) tidak langsung mentahan dari DTKS, DTSEN, dan P3KE, tapi kami lihat juga data yang kami miliki. Sehingga 5 persen (margin error data kemiskinan) itu bukan dampak terhadap sasaran PIP ya, itu sumbernya,” ucap Sofiana di kantor Komisi Informasi Pusat, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Sofiana menyatakan sekolah pun memiliki kapasitas yang seimbang dengan data sumber rujukan yang akan digunakan untuk validasi. Untuk itu, kedua belah pihak sama-sama bertanggung jawab atas ketepatan sasaran penerima PIP.
“Data pendidikan tadi yang miliki adalah satuan pendidikan. Sehingga satuan pendidikan harusnya juga ikut berkontribusi terhadap ketepatan sasaran yang tadi disampaikan. Kalau 5 persen (margin error data kemiskinan) itu tidak langsung berdampak kepada penetapan PIP, dan bisa kami tanggulangi dengan rujukan atau data yang kami miliki sendiri, dari satuan pendidikan tentunya,” imbuhnya.
Data Siswa di Dapodik yang Difilter Sekolah
Sofiana mengatakan data yang diambil dari Dapodik untuk PIP adalah data yang sudah difilter sekolah sebagai data siswa dan keluarga miskin layak menerima PIP berdasarkan tolok ukur satuan pendidikan/sekolah bersangkutan.
Berdasarkan kewenangan sekolah ini, Sofiana mengatakan sekolah ini punya kontribusi yang besar untuk ketepatan sasaran siswa penerima PIP yang akan ditetapkan oleh Kemendikdasmen.
“Dia menandai layak (layak menerima PIP pada data siswa di Dapodik). Dia (sekolah) juga yang memastikan, keluarga ini memang keluarga yang betul berhak mendapatkan PIP karena dia dalam keadaan miskin. Syaratnya cuma satu untuk menerima PIP, miskin. Itu saja. Tidak ada syarat lain. Miskin, mau dia kebetulan yatim piatu atau lain sebagainya, pokoknya dia miskin. Yatim piatu belum tentu miskin,” kata Sofiana.
Data PIP Tidak Diverifikasi Pemerintah Pusat ke Lapangan?
Sofiana menambahkan, data hasil pemadanan tidak diverifikasi kembali ke lapangan oleh Kemendikdasmen lantaran meliputi 12 juta siswa.
“Setelah hasil pemadanan ini, apakah Kementerian Pendidikan Dasar (dan Menengah) melakukan verifikasi kembali ke lapangan? Tentu tidak. Karena hasil pemadanan ini jumlahnya 12 juta siswa. Begitu. Kalau 12 juta siswa (lalu) kami melakukan verifikasi door to door, satu per satu, maka akan membutuhkan sekitar 14 tahun,” ucapnya.
“Kami hanya melihat datanya saja. Apakah keterisian data namanya tidak hanya satu huruf, nama ibu kandung tidak berupa angka karena banyak juga seperti itu keterisian data Dapodik. Nama anaknya Santi, nama ibunya Santi. Hampir jarang nama anak sama persis dengan ibunya. Kemudian nama ibunya tidak mengandung arti, seperti Ibu, atau Almarhumah. Yang seperti itu yang tidak logis, yang kami pun harus reject (tolak),” jelasnya.
Ia menambahkan, per 2021, siswa yang data NIK-nya belum terverifikasi di dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) juga tidak dapat menjadi penerima PIP. Hal ini dikecualikan bagi siswa yang sudah menjadi penerima PIP pada tahun sebelumnya.
“2021, karena sudah ditegur oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), akhirnya kami menerapkan NIK (nomor induk kependidikan) harus valid dukcapil. Yang tidak valid dukcapil, mohon maaf. Tidak bisa kami tetapkan sebagai penerima PIP baru. Kalau yang tahun lalu sudah terima, ya oke lah lanjut gitu ya, karena sudah pegang buku rekening,” ucapnya.
Siswa Usulan Sekolah Diverifikasi Dinas Pendidikan
Untuk mengatasi soal siswa di keluarga miskin yang masuk exclusion area dan seharusnya ada di DTSEN dan P3KE, Sofiana mengatakan sekolah dapat mengusulkan siswa-siswa tersebut untuk jadi calon penerima PIP. Verifikasinya dilakukan oleh dinas pendidikan dan stakeholders lain.
“Dapat diusulkan oleh satuan pendidikan ya pastinya, diteruskan verifikasinya oleh dinas pendidikan dan pemangku kepentingan. (Lantas, siswa) dapat ditetapkan sebagai penerima PIP? Dapat,” katanya.
Isu Layanan Kependudukan di Domisili
Sofiana mengatakan belum semua layanan di RT, RW, dan kelurahan baik sehingga turut berpengaruh pada terdatanya warga miskin di wilayahnya masing-masing. Kualitas layanan ini berimbas pada anak miskin tidak mendapat bantuan pendidikan dari pemerintah, seperti PIP.
“(Orang tua) sudah lapor, sampai kami arahkan, coba ke kelurahan, coba screenshot yang terjadi di kelurahan. Laptop-nya kalau perlu difoto. Layanan mereka tidak semuanya baik,” ucapnya.
Ia menggarisbawahi bahwa kelurahan seharusnya merupakan titik awal entri data keluarga miskin. Khususnya yakni di operatur Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial New Generation (SIKS-NG). Untuk itu, siswa yang keluarganya sudah tidak lagi miskin bisa dikeluarkan dari data kemiskinan.
“SIKS-NG, punyanya DTKS, ada operatornya di situ. Dia yang meng-input. Dia yang memutakhirkan. Artinya, yang sudah nggak miskin bisa dikeluarin juga, nggak sekadar meng-input. Jadi, yang memutakhirkan adalah pihak kelurahan,” ucapnya.
Ia menambahkan kelurahan juga seharusnya melaksanakan musyawarah desa atau musyawarah kelurahan secara periodik. Agendanya yakni memutakhirkan data penduduk di kelurahan/desa tersebut.
“Kalau sampai ada keluarga yang tidak dapat bantuan sosial, karena tidak terdata di DTKS ataupun DTSN, ya tentunya harus ditingkatkan lagi tim dari Kementerian Sosial dan ke bawahnya, jajaran ke bawahnya, sampai ke dinas sosial dan seterusnya, kelurahan dan seterusnya. Jadi serangkaian dari Kementerian Sosial ke bawah yang harus ada perbaikan apabila memang masih ada keluarga yang belum tercatat di DTKS atau DTSEN,” kata Sofiana.
(twu/nwk)