Jakarta –
Belakangan ini mencuat wacana libur siswa selama satu bulan pada Ramadan 2025. Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengatakan pihaknya tengah mendiskusikan hal ini bagi sekolah selain madrasah atau pesantren.
“Tetapi sekolah-sekolah yang lain juga masih sedang kita wacanakan, tetapi ya nanti tunggulah penyampaian-penyampaian. Yang jelas bahwa libur atau tidak libur, sama-sama kita berharap berkualitas ibadahnya,” jelasnya dikutip dari detikNews, Kamis (2/1/2024).
Wacana ini kemudian menuai respons dari banyak pihak. Termasuk Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Hetifah Sjaifudian.
Menurutnya, penetapan aturan harus dirancang secara eksklusif terlebih dahulu. Ia meminta Kementerian Agama untuk memetakan dampak positif dan negatifnya juga.
“Wacana meliburkan anak sekolah selama satu bulan saat bulan puasa memiliki potensi dampak positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan secara matang,” kata Hetifah.
Perhatikan Kalender Pendidikan-Siswa Nonis
Jika siswa mendapatkan libur sebulan saat Ramadhan, kualitas belajar agama mereka dan kegiatan sosial bisa lebih mendalam. Akan tetapi Hetifah mengingatkan penyesuaian dengan kalender pendidikan.
Ia juga meminta Kemenag memerhatikan siswa nonmuslim. Hetifah menilai manfaat libur sebulan ini mungkin baik untuk siswa muslim, tetapi manfaat langsungnya tak dirasakan siswa nonmuslim.
“Namun, siswa nonmuslim mungkin tidak merasakan manfaat langsung, sehingga perlu dipertimbangkan dampaknya terhadap mereka, agar inklusifitas dan kesetaraan dalam sistem pendidikan tetap terjaga. Bagi siswa nonmuslim, libur penuh selama Ramadan bisa menjadi waktu kosong yang tidak produktif, terutama jika mereka tidak memiliki kegiatan alternatif yang dirancang khusus,” paparnya.
Hetifah menyarankan adanya program khusus bagi siswa nonmuslim jika aturan ini direalisasikan. Misalnya dibuatnya program tambahan di bidang seni hingga olahraga.
“Misalnya, program pendidikan tambahan, kegiatan seni, atau olahraga yang tetap berjalan untuk mereka yang tidak menjalankan puasa. Dengan begitu, waktu mereka tetap dimanfaatkan dengan baik, tanpa harus mengganggu kebijakan libur untuk siswa muslim,” ucap dia.
Harus Menyesuaikan dengan Kurikulum
Respons lain soal wacana libur sekolah satu bulan selama Ramadan datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis. Ia mengatakan perlu adanya penyesuaian dengan kurikulum di sekolah.
“Tapi kalau untuk umum saya pikir perlu menyesuaikan dengan kurikulum, ya kurikulumnya, di samping juga yang kedua tidak semuanya muslim. Tapi menurut saya itu tergantung kajian mana yang lebih bermanfaat tetapi bukan liburnya, tetapi soal produktivitasnya,” ujarnya.
Cholil menyarankan agar siswa tetap belajar di sekolah selama Ramadan. Menurutnya, justru momen Ramadan jadi jalan bagi guru melakukan penguatan pendidikan karakter dan spiritual terhadap siswa.
“Alangkah baiknya Ramadan tetap di dalam sekolah, tetapi kurikulum sekolah itu atau pengajarannya di sekolah itu lebih diperbanyak pendidikan karakter, penguatan spiritualnya. Nah sekarang kan banyak agama hanya pengajarannya, bukan pendidikannya,” tutur Cholil.
Perhatikan Tingkat Produktivitas Siswa
Cholil juga mengatakan belajar sambil puasa perlu dilakukan untuk membangun kebiasaan siswa. Artinya, kebijakan ini jangan sampai membuat produktivitas siswa dalam belajar menurun.
“Karena sebenarnya orang berpuasa dengan belajar itu kalau dibiasakan, tidak mengganggu. Tapi kalau dimaklumi karena lapar dan seterusnya maka menjadi tidak produktif. Oleh Nabi Muhammad SAW, ya pendidikan itu pada saat puasa tidak terganggu. Bahkan, ada peperangan di saat bulan puasa,” katanya.
(cyu/twu)