Jakarta –
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim mengapresiasi langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang mengubah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB). Termasuk mengganti zonasi menjadi domisili.
“Kami mengapresiasi akhirnya pemerintah melalui Kemdikdasmen mempertahankan jalur zonasi meskipun berganti nama domisili. Bahkan jalur afirmasi mendapat (usulan) penambahan kuota menjadi 20 persen di SMP dan 30 persen di SMA. Ini membuka peluang makin luas bagi anak keluarga miskin bersekolah di sekolah negeri,” ucapnya melalui keterangan tertulis, Sabtu (3/2/2025) lalu.
Meskipun ada penambahan jalur afirmasi, lanjut Satriwan, Kemdikdasmen memiliki usulan mengurangi jalur domisili menjadi 30 persen untuk SMA, yang sebelumnya 50 persen (saat masih bernama zonasi).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara jalur prestasi, bertambah menjadi 30 persen di SMA dan 25 persen di SMP (dalam usulan Kemdikdasmen). Padahal dalam PPDB sebelumnya, jalur prestasi ini merupakan sisa kuota jika 3 jalur lainnya masih menyisakan kuota di satu sekolah.
“Penambahan jalur prestasi di SMP dan SMA yang signifikan itu memunculkan kekhawatiran, yaitu nanti sekolah-sekolah hanya akan memprioritaskan calon siswa dari jalur prestasi saja, sehingga calon siswa dari jalur domisili dan afirmasi akan tersisihkan, tidak dapat bersekolah di sekolah negeri,” ungkap Satriwan.
Di sisi lain, jalur prestasi berpotensi akan menciptakan kembali label “sekolah unggulan” atau “sekolah favorit” yang melahirkan ketimpangan pelayanan pendidikan bagi anak.
P2G menilai persoalan pokok sistem SPMB ini akan tetap muncul dan akan menimbulkan diskriminasi baru bagi hak anak untuk mendapatkan akses pendidikan dan sekolah.
Bagaimana Cara Antisipasi Kecurangan Pungli hingga Jual Beli Kursi?
Sebelumnya, pihak Kemdikdasmen mengatakan bahwa perubahan jalur zonasi menjadi domisili, merupakan upaya untuk mengantisipasi kecurangan yang terjadi dalam PPDB sebelumnya.
Maka dari itu, dalam SPMB, tak lagi menggunakan syarat kartu keluarga (KK). Sebab, KK banyak dimanipulasi datanya oleh oknum orang tua dan sekolah agar anaknya bisa sekolah di wilayah yang diinginkan.
Dalam hal ini, P2G mendesak pelibatan penegak hukum dalam proses SPMB. Karena praktik kecurangan dalam PPDB sudah melanggar hukum pidana.
“Praktik kecurangan dalam PPDB selama ini sudah melanggar hukum pidana. Harusnya proses SPMB melibatkan penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian, karena fakta-fakta pelanggaran pidana sudah banyak terjadi sejak 2017,” ujar Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.
“Namun sayangnya tidak ada tindakan hukum terhadap pelaku oknum pihak sekolah atau orang tua dan pejabat daerah. Ini urgen dilakukan agar proses SPMB benar-benar objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan,” ungkapnya lebih lanjut.
Iman juga menyoroti draf Permendikdasmen tentang SPMB, yang tidak memuat eksplisit larangan bagi sekolah dan Pemda menambah rombongan belajar (rombel) sesuai ketentuan maksimal dan larangan menambah ruang kelas baru selama proses PPDB berlangsung.
“Kami menyayangkan hilangnya pasal larangan bagi Pemda menambah ruang kelas baru selama SPMB, padahal di Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB larangan itu tertulis jelas di pasal 33 ayat 7. Larangan dan ancaman pidana ini penting, mengingat potensi oknum guru atau kepala sekolah, dinas pendidikan, pejabat daerah melakukan ‘pungli’ dan jual beli kursi pada calon orang tua murid,” tambahnya.
Menurut Iman, potensi kecurangan dan pelanggaran hukum seperti itu bisa kembali terjadi dalam SPMB 2025 dan seterusnya. Oleh karena itu, Permendikdasmen tentang SPMB harus menuliskan tegas pasal larangan menambah kelas baru atau rombel selama proses SPMB berlangsung.
“Lagipula, kuota rombel yang ditambah di tengah SPMB akan membuat pembelajaran tidak efektif. Karena jumlah murid di kelas melebihi kapasitas ruang kelas dan lahan sekolah yang terbatas,” tuturnya.
SPMB Harus Jadi Tanggung Jawab Bersama Lintas Kementerian dan Pemda
P2G menilai selama ini persoalan sistem penerimaan murid baru di sekolah hanya menjadi isu satu kementerian yakni Kemdikdasmen. Padahal persoalan SPMB/PPDB menyangkut berbagai soal.
Misalnya terkait sebaran gedung sekolah, fasilitas sekolah, sebaran anak usia sekolah, dokumen kartu keluarga (kependudukan), akses infrastruktur jalan, moda transportasi, internet, pelibatan madrasah, dan lain-lain.
“Semua adalah isu yang seharusnya melibatkan lintas kementerian dan Pemda,” ujar Satriwan.
Koordinator P2G tersebut menekankan bahwa SPMB harus memiliki solusi komprehensif yang menjadi tanggung jawab lintas kementerian, seperti Kemen PUPR, Kemendagri, Kemenhub, Komdigi, Kemenag, selain Kemendikdasmen dan Pemda. Tujuannya agar ketidakmerataan infrastruktur sekolah bisa diselesaikan.
Satriwan melanjutkan, solusi sistem PPDB/SPMB secara makro dan komprehensif harus melibatkan KemenPUPR untuk menambah sekolah negeri baru dan akses infrastruktur jalan raya menuju sekolah dan Kemenhub untuk menyelesaikan masalah akses transportasi siswa yang jauh jaraknya.
“Masalah SPMB atau PPDB selalu disentuh dengan pendekatan parsial oleh pemerintah pusat yaitu Kemdikdasmen. Bahkan Pemda pun pasif karena menerima Peraturan Menteri Dikdasmen yang sudah jadi. Seharusnya tanggung jawab lintas kementerian dan Pemda,” papar Satriwan.
Sementara itu, Iman menambahkan, bahwa sistem SPMB yang parsial akan selalu berdampak pada anak, sehingga tak semua anak usia sekolah dapat bersekolah di sekolah negeri.
“Negara abai dalam memenuhi kewajibannya membiayai pendidikan anak tersebut,” ucapnya.
Maka dari itu, P2G akan terus mendorong, agar Kemendikdasmen melibatkan semua unsur stakeholder pendidikan dalam proses SPMB.
“Kami belum melihat uji publik rencana Permendikdasmen tentang SPMB dilakukan yang melibatkan banyak pihak,” pungkas Iman.
(faz/nah)