Jakarta –
Ajeng, siswa kelas 11 di Depok sepakat jika diadakan kembali penjurusan di tingkat SMA.
“Jujur dari pengalaman di sekolah saya sendiri, guru belum terlalu siap buat mengatur jadwal dan kombinasi pelajaran yang beragam yang benar-benar sesuai dengan minat setiap siswa,” kata Ajeng.
Kepada detikEdu (16/4/2025), ia menilai pengelompokan paket pembelajaran di sekolahnya cukup membingungkan karena menurutnya Kurikulum Merdeka terlalu membebaskan untuk menyusun komposisi pelajaran sendiri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Jadi terkadang ada pembelajaran yang tidak relevan,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan oleh Gabriella, siswa kelas 11 di Malang.
Ia lebih nyaman jika diadakan penjurusan. Sebab, ia tak harus belajar banyak materi yang tidak sesuai passion-nya.
Meski begitu ia juga merasa jika penjurusan dihidupkan kembali, akan kurang cocok karena di sekolahnya Kurikulum Merdeka baru diterapkan belakangan.
Ajeng dan Gabriella tentunya memiliki kepentingan yang sulit dilepaskan dari kebijakan ini. Lantas, seperti apa pandangan para pengamat dan para guru soal kembalinya format penjurusan yang berkaitan dengan Tes Kemampuan Akademik ini?
Penjurusan Muncul Tanpa Kajian Memadai
Pengamat pendidikan Bukik Setiawan mengatakan wacana kembalinya penjurusan di tingkat SMA merupakan langkah yang berisiko tinggi secara teknis dan filosofis. Ia menilai hal ini merupakan langkah mundur dari proses yang sudah dibangun, yakni memberi anak ruang untuk memilih arah belajarnya sendiri.
Namun menurutnya yang lebih mengkhawatirkan adalah wacana diadakannya kembali penjurusan ini muncul tanpa kajian evaluatif memadai. Padahal, reformasi pendidikan yang sehat butuh proses reflektif, tak sekadar keputusan politis yang terburu-buru.
Di sisi lain, ia menyebut TKA merupakan alat asesmen, bukan suatu penentu struktur belajar. Maka, fungsinya adalah mengukur, bukan mengarahkan anak secara paksa ke dalam jalur tertentu.
Bukik turut memaparkan bagi guru, penjurusan dapat menjebak dalam hierarki mata pelajaran yang tidak sehat. Sebagai contoh, guru non-IPA bisa kembali merasa tidak penting, sehingga melemahkan motivasi serta kolaborasi antara guru.
“Bagi murid, dampaknya jauh lebih dalam. Sistem penjurusan yang kaku bisa mengurung potensi anak dalam kotak sempit yang tidak selalu relevan dengan minat dan bakat mereka,” jelas Bukik.
“Anak-anak yang salah jurusan akan kehilangan motivasi, merasa tidak mampu, bahkan kehilangan rasa percaya diri. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya soal pilihan pelajaran, tapi soal identitas dan arah hidup mereka,” imbuhnya, kepada detikEdu (14/4/2025).
Kurikulum Merdeka Belum Dievaluasi Menyeluruh
Pakar kebijakan publik Universitas Brawijaya (UB) Andhyka Muttaqin mengatakan Kurikulum Merdeka belum dievaluasi secara menyeluruh. Namun, ia juga memaparkan kelebihan dan kekurangan dari format penjurusan.
Kelebihan dari adanya penjurusan, menurut Andhyka adalah siswa lebih mudah mempersiapkan diri masuk perguruan tinggi sesuai jalur. Sedangkan kekurangannya adalah penjurusan yang biasanya dilakukan pada kelas 10 atau 11 menurutnya terlalu awal, maka bisa menutup kemungkinan bagi siswa mengeksplorasi minat lebih luas.
“Tidak semua siswa sudah tahu minat dan bakatnya di usia itu,” kata Andhyka kepada detikEdu (16/4/2025).
Andhyka pun menyebut kebijakan pendidikan semestinya dirumuskan secara konsisten, partisipatif, dan berdasarkan evaluasi yang matang. Ia menilai perubahan yang terlalu cepat dapat membuat seluruh pihak lelah dan bingung.
“Penjurusan boleh saja dipertimbangkan kembali, asalkan dilakukan dengan fleksibel dan berdasarkan kebutuhan siswa, bukan demi mengulang sistem lama,” jelasnya.
Perubahan ke Penjurusan Bisa Dilihat dengan Dua Perspektif
Peneliti kebijakan pendidikan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Agustina Kustulasari memiliki pandangan yang sedikit berbeda.
Menurutnya baik ada penjurusan maupun tidak di tingkat SMA, niatnya kurang lebih sama. Maksudnya, siswa diberikan sedikit ruang untuk memilih yang sesuai minat, bakat, potensi, dan rencana kariernya.
“Kalau pendekatan yang satu pendekatannya adalah siswa itu dibebaskan memilih mata pelajaran, kalau di sini itu seperti katakanlah sedikit dibatasi dengan oke kalau IPA itu paketnya ini, lalu IPS itu paketnya ini, gitu kan kira-kira ya. Meskipun pada akhirnya bisa jadi siswa itu memilih yang kurang lebih sama, mungkin juga karena latah ya karena sistem penjurusan ini toh udah lama sekali ya,” jelasnya kepada detikEdu (17/4/2025).
Ari, sapaannya, mengatakan jika dalam Kurikulum Merdeka pendekatannya adalah siswa dibebaskan memilih pelajaran, maka dalam penjurusan sedikit dibatasi.
Walaupun begitu pada akhirnya siswa bisa jadi memilih yang kurang lebih sama, baik ada penjurusan maupun tidak. Sebab, sistem penjurusan ini sudah ada sangat lama dan terinternalisasi.
Di sisi lain, ia melihat perubahan dengan diadakannya jurusan ini dapat dilihat dari perspektif birokratis institusional dan politis.
Secara birokratis institusional, menurutnya kembalinya penjurusan bukan suatu keputusan bijak. Sebab, penghapusan format penjurusan baru dilakukan dalam satu tahun ajaran. Efektivitasnya belum bisa diukur dan belum bisa dilakukan evaluasi atau asesmen apa pun.
“Jadi alasan atau urgensi untuk perubahan kurikulum itu menjadi tidak kuat ya, tidak kuat. Tidak ada landasan kuat untuk mengubah kebijakan karena yang kemarin belum dievaluasi. Itu kalau sekali lagi kalau dari institutional bureaucracy,” jelasnya.
Sedangkan dalam perspektif politis, perubahan kebijakan dapat dilakukan kapan saja. Apabila dirasa perlu, maka dapat dilakukan.
“Perlu itu dalam arti perlu secara politis, perlu secara apa pun argumentasi yang mau digunakan,” ungkapnya.
Ada Sekolah yang Terapkan Paket Jurusan
Meski Kurikulum Merdeka membebaskan siswa memilih mapel tanpa ada pengkotakan penjurusan, sebagian sekolah memiliki cara sendiri dalam penerapannya.
Seperti dijelaskan oleg guru kimia SMA Prestasi Prima Jakarta Timur, Atika Rifda. Sekolahnya menerapkan semi penjurusan dengan menawarkan semacam sistem paket kepada para siswanya.
“Kan kalau Kumer (Kurikulum Merdeka) anak-anak bebas milih mapel apa yang dipingin. Nah, kalau kemarin itu jatuhnya sekolahku jadinya kayak paketan. Misal mau ambil IPA, IPA-nya plus bentuk Kumer-nya adalah IPA dengan sosiologikah, ekonomikah, geografikah, informatika, misalnya sama apa,” kata Tika (14/4/2205).
Dikarenakan sistem paket tersebut diterapkan, maka kata Tika tidak akan ada kesulitan apabila kembali ke format penjurusan.
Ia pun lebih setuju dengan adanya penjurusan karena ketika peserta didik memilih sendiri, ada banyak yang tidak ingin memilih kimia dan fisika lantaran keduanya merupakan mata pelajaran yang sulit.
Sementara, guru lain yang tak ingin disebutkan identitasnya berpendapat peminatan IPA/IPS/Bahasa sebagaimana tes minat dan bakat yang pernah dilakukan sangatlah penting.
Apabila penjurusan dihidupkan kembali, maka ia mengaku tak kesulitan, asal mempersiapkan diri dengan baik.
“Saya akan membaca materi-materi yang akan diajarkan, menyimak video-video di kanal YouTube sebagai acuan metode pembelajaran yang beragam, memodifikasi RPP dari rekan sejawat, mengikuti pelatihan, & menyusun strategi pembelajaran yang menyenangkan,” ungkapnya (14/4/2025).
(nah/nwy)