Jakarta –
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) telah berubah menjadi Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB). Perubahan ini termasuk adanya empat jalur penerimaan yakni jalur domisili, prestasi, afirmasi, dan mutasi.
Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengapresiasi niat Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dalam memperbaiki sistem penerimaan peserta didik baru, yang selama 8 tahun menghadapi persoalan klasik yang relatif sama.
Sistem SPMB/PPDB bertujuan mendekatkan siswa ke sekolah dekat rumah, mengafirmasi anak keluarga miskin sebagai bentuk keberpihakan negara kepada kelompok marjinal, dan memperluas akses anak mendapatkan pendidikan, yang didasarkan pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1; UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 1; dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 9 ayat 1 dan pasal 49.
“Yang pada intinya setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran bermutu dan pemerintah wajib memenuhinya,” kata Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G melalui keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Sabtu (1/2/2025).
Perubahan Belum Menyentuh Persoalan Pokok di Pendidikan
Dalam perubahan ini, hal yang paling mencolok yakni perubahan istilah. PPDB menjadi SPMB, ‘Jalur Zonasi’ menjadi ‘Domisili’, hingga ‘Jalur Perpindahan Orang Tua’ menjadi ‘Mutasi’. Satriwan menyebut, perubahan ini belum signifikan dalam menyelesaikan soal pemerataan akses pendidikan bagi seluruh anak.
“Ada wilayah yang sekolah negerinya tak mampu menampung calon siswa, karena ruang kelas terbatas, sedangkan (di wilayah lain) calon siswa lebih besar (terjadi di Jakarta, kota Bandung, kota Surabaya, kota Bogor, dan lainnya),” ungkapnya.
Begitupun kondisi sebaliknya, ada wilayah yang sekolahnya justru kekurangan murid, bahkan tidak ada murid mendaftar (misal di Solo, Jepara, Sragen, Gunungkidul, Kab. Semarang, Bantul, Pasuruan, Pangkal Pinang, dll.).
Kondisi tersebut terjadi karena jarak antara sekolah negeri dan rumah siswa terlalu jauh, transportasi tidak memadai, akses jalan rusak, sehingga orang tua memilih sekolah/madrasah swasta dekat rumah.
“(Jadi) sistem SPMB belum sepenuhnya menjawab persoalan pokok dalam pemerataan akses pendidikan bagi seluruh anak tanpa kecuali sebagaimana tujuan awal PPDB/SPMB,” ujar Satriwan.
Di sisi lain, muncul kekhawatiran soal penambahan kuota jalur prestasi di SMP dan SMA. Sebab, sekolah-sekolah nantinya bisa-bisa hanya memprioritaskan calon siswa dari jalur prestasi saja.
Jika hal itu terjadi, kata Satriwan, maka calon siswa dari jalur domisili dan afirmasi akan tersisihkan, tidak dapat bersekolah di sekolah negeri.
“Bahkan penambahan Jalur Prestasi ini akan menciptakan kembali label “Sekolah Unggulan” atau “Sekolah Favorit” yang melahirkan ketimpangan pelayanan pendidikan bagi anak. P2G menilai persoalan pokok sistem SPMB ini akan tetap muncul dan akan menimbulkan diskriminasi baru bagi hak anak untuk mendapatkan akses pendidikan dan sekolah,” tuturnya.
Pemerintah Wajib Menanggung Biaya Pendidikan Siswa di Sekolah Swasta
Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, turut mengapresiasi keinginan Mendikdasmen yang ingin melibatkan sekolah swasta untuk menerima distribusi murid yang tak tertampung di sekolah negeri, agar diterima di sekolah swasta.
Menurutnya, ini merupakan salah satu solusi persoalan terbatasnya daya tampung dalam SPMB nanti. Namun, terdapat catatan terkait kolaborasi dengan Pemerintah Daerah (Pemda).
Sebab, dalam draf naskah Permendikdasmen tentang SPMB khususnya pasal 50 ayat 2, Kemdikdasmen tidak tegas menginstruksikan agar Pemda wajib membiayai sepenuhnya biaya pendidikan siswa yang diterima di sekolah swasta tersebut.
“P2G mengusulkan pada Kemdikdasmen agar mencantumkan eksplisit dalam Permendikdasmen SPMB, bahwa Pemda wajib membiayai sepenuhnya atau pembebasan biaya pendidikan bagi siswa yang bersekolah di sekolah swasta akibat terbatasnya daya tampung sekolah negeri,” papar Iman.
Ia melanjutkan, bahwa kolaborasi Pemda dengan sekolah swasta dalam skema ‘PPDB Bersama’ sudah dilakukan beberapa daerah, seperti Jakarta, kota Gorontalo, dan Surabaya.
Maka dari itu, peran Pemda harus sangat jelas. Karena jika aturan Kemdikdasmen abu-abu dalam pelibatan sekolah swasta, siswa akan terjebak kepada biaya sekolah swasta yang mahal.
“Negara harus menjamin pembiayaan pendidikan dasar siswa. Apalagi siswa terpaksa masuk swasta karena jumlah dan daya tampung sekolah negeri terbatas, karena pemerintah gagal memenuhi ketersediaan sekolah negeri di masyarakat,” tegas Iman.
“Jangan sampai orang tua dan anak mengalami diskriminasi berlapis, hak anak bersekolah di sekolah negeri tak terpenuhi karena kursi terbatas, lalu terpaksa masuk sekolah swasta dengan biaya mahal. Ini melanggar konstitusi UUD 1945 pasal 31 ayat 1,” imbuhnya.
(faz/nwk)