Jakarta –
Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Subarsono, MSi, MA, menilai tidak perlu ada wacana libur sekolah selama Ramadan jika semua baik-baik saja. Sebab menurutnya, kebijakan publik lahir untuk memecahkan masalah.
“Pertanyaan saya, apakah ada masalah dengan tidak adanya libur selama bulan Ramadan selama ini. Kalau ada masalah, masalahnya seperti apa? Apakah masalah tersebut cocok/bisa dipecahkan dengan libur selama bulan Ramadan. Kalau semua baik-baik saja, maka tidak perlu ada wacana libur selama bulan Ramadan,” ucapnya kepada detikEdu, Jumat (17/1/2025).
Dia mencatat ada beberapa poin yang harus dipertimbangkan. Salah satunya jika akhirnya kegiatan pembelajaran diliburkan dan/atau dialihkan di rumah.
Pada poin jika pembelajaran diliburkan, maka Subarsono khawatir itu bisa mengganggu siswa. Kebiasaan belajar harian siswa akan hilang dan di samping itu, guru juga kehilangan waktu untuk mengejar capaian pembelajaran yang sudah disiapkan.
“Apalagi sebentar lagi akan ujian atau ulangan umum kenaikan kelas, saya kurang tahu tepatnya kapan, mungkin bulan Mei,” ujar Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM itu.
Potensi yang Bisa Terjadi pada Anak dan Nasib Siswa Nonmuslim
Subarsono, lebih lanjut, mengatakan bahwa anak-anak masih perlu kontrol atau pengawasan untuk kegiatan positif. Saat anak libur dan orang tua harus bekerja, anak bisa berpotensi kurang produktif.
“Ini berpotensi, anak-anak selama libur panjang akan melakukan kegiatan kurang produktif seperti: menonton TV atau main game atau main gadget,” jelasnya.
Kemudian, jika pun pembelajaran dialihkan jarak jauh, nyatanya tidak semua keluarga siswa memiliki akses internet yang memadai untuk bisa belajar online.
Kata Subarsono, sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi bisa maksimal. Tujuannya adalah agar platform pembelajaran daring tetap bisa menjaga rutinitas dan semangat belajar siswa.
Hal ini juga turut didukung dengan keterlibatan orang tua. Misalnya sekolah melakukan kerja sama dengan orang tua murid untuk membantu belajar dan mengontrol siswa selama libur.
Sementara itu, jika siswa diliburkan selama Ramadan, Subarsono mempertanyakan nasib siswa-siswa yang nonmuslim.
“Apakah mereka memerlukan libur di bulan Ramadan? Bagaimana dengan sekolah swasta yang memiliki afiliasi keagamaan tertentu, seperti Kanisius, Bopkri, Tarakanita, atau sekolah-sekolah Hindu di Bali, apakah mereka membutuhkan libur di bulan Ramadan? Apakah sekolah-sekolah itu akan diberi otonomi penuh untuk menentukan kebijakannya?” tanya Subarsono.
“Saya pikir ini perlu didiskusikan para para pemangku kepentingan di sektor pendidikan dengan penuh kehati-hatian,” tambahnya.
Mendikdasmen: Bukan Libur Sekolah tapi Pembelajaran Ramadan
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti telah membeberkan tiga opsi untuk dibahas dalam rapat kementerian, yakni libur penuh, libur tidak penuh, dan tidak libur.
Kemudian, ia mengoreksi istilah ‘libur sekolah’ yang banyak disebut pada bulan Ramadan. Mu’ti mengatakan bahwa kebijakan yang akan dijalankan adalah pembelajaran selama bulan Ramadan.
“Jadi libur Ramadan itu, bahasanya bukan libur Ramadan ya, karena ada yang nulis libur Ramadan. Bahasanya, pembelajaran di bulan Ramadan,” kata Mu’ti kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (17/1/2025).
Kebijakan ini dikatakan Mu’ti sudah dibahas dan disepakati oleh lintas kementerian yakni dari Kemenko PMK, Kemenag, dan Kemendagri. Nantinya, kesepakatan akan diumumkan melalui surat edaran bersama.
“Sudah kita bahas lintas kementerian. Sudah ada kesepakatan bersama. Tinggal tunggu saja terbit surat edaran bersama,” tuturnya.
(faz/nwk)