Jakarta –
#KaburAjaDulu viral 2 bulan belakangan. Namun, ada baiknya jangan Fear Of Missing Out (FOMO) alias takut ketinggalan tren. Berani tapi bukan nekat, realistis dan semuanya harus diperhitungkan.
Dimas Budi Prasetyo, sudah #KaburAjaDulu ke Taiwan sejak 2016, bukan karena mengikuti tren yang muncul belakangan melainkan karena menemani istrinya, Imee Ristika, studi doktoral di National Sun Yat-sen University, Kaohsiung, Taiwan. Setelah 4 tahun di Taiwan, 5 tahun belakangan Dimas dan keluarganya sudah mapan bermukim di kota Eindhoven, Belanda.
Dalam tulisannya di Facebook tentang #KaburAjaDulu, Dimas mengajukan beberapa pertanyaan mendasar untuk #KaburAjaDulu. Berikut beberapa pertanyaannya, dikutip detikEdu dengan izin, ditulis Senin (10/3/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Mari mulai dari pertanyaan: di luar negeri mau ngapain? Studi atau bekerja?” tulis Dimas.
Dimas menuliskan, pilihan paling tepat #KaburAjaDulu untuk studi ke luar negeri adalah jenjang S2 hingga S3, ketimbang jenjang S1.
“Kenapa? Karena jenjang itu, pilihan beasiswanya banyak dan peluang masuknya lebih besar. Kalau jenjang S-1, peluangnya untuk beasiswa kalau dibilang nggak mungkin, ya kecil sekali,” tulis Dimas
Namun di Taiwan, Dimas menemukan ada program kuliah kerja jenjang S-1. Dimas bertemu banyak mahasiswa yang ikut program itu.
“Programnya bagus. Tapi si anak mahasiswa harus siap ditempa sekali. Kerja dan kuliah barengan di negeri asing, jelas akan menguras fisik dan mental. Tapi lagi, ini sangat bagus bagi anak muda yang memang berniat sukses di masa depan,” tulis pria lulusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya tahun 2014 ini.
Bila memilih #KaburAjaDulu dari jalur bekerja, Dimas menjabarkan beberapa pertanyaan berikut:
- Apakah kalian sudah tahu perbedaan pekerja kerah biru dan pekerja kerah putih
- Kualifikasi kalian cocoknya jadi pekerja apa? Tiap negara punya kebijakan beda soal pekerja kerah putih dan biru.
- Kalian mau ke negara mana? Sudah riset belum negara itu sesuai dengan kriteria kalian?
“Sekarang kalau sudah paham semua informasi, paham mau ngapain, paham kualifikasinya cocok dimana, paham mau kerja/studi dimana, nah mari bahas lanjut ke tingkatan lebih tinggi. Pertanyaan dasar (lebih tinggi) adalah: mental sampeyan sudah siap?” tulis Dimas.
Persiapan Mental Paling Mendasar
Saat berbincang dengan detikEdu via GMeet pada akhir Februari 2025 lalu, Dimas lebih jauh mengelaborasi tentang persiapan mental ini.
“Mental. Saya tuh banyak banget dapat pertanyaan ‘Mas bisa bawa saya nggak kerja di luar negeri? Mas bisa bantuin saya nggak?’ Padahal kerja di luar negeri itu nggak ada yang namanya bawa bawaan. Kan mental ‘bawa-bawa’ itu kan masih ‘kita banget’ gitu kan ya,” jawab Dimas saat ditanya hal fundamental apa yang butuh diperbaiki kalau orang Indonesia mau #KaburAjaDulu.
Padahal di luar negeri itu, imbuh Dimas, kalau nggak punya kemampuan kecil kemungkinan bisa dipekerjakan di negara orang.
“Yang membuat kita dipakai di luar negeri adalah kita punya kemampuan. Bukan kita kosongan aja, terus mengandalkan orang lain biar dibawa, itu nggak bisa kayak gitu. Mental ingin sesuatu yang besar tapi dengan effort seminim mungkin. Karena nggak mungkin kalau kita dapat sesuatu yang besar dengan effort sekecil mungkin, kecuali kalo misalnya kita anaknya Elon Musk mungkin beda lagi ya. Kalau kita kaum-kaum rakyat jelata seperti biasa ini kalau kita nggak punya effort yang gede hasilnya juga nggak bakal gede,” pesan Dimas.
Persiapan Bekal Ilmu dan Finansial
Dimas mencontohkan punya kenalan lulusan S1 Belanda dari kampus yang bagus, begitu juga jurusannya, software engineering.
“Itu baru dapat kerjaan setelah satu setengah tahun,” tuturnya.
Ada lagi kenalan Dimas lulusan S2 di Belanda, namun tak serta merta diterima kerja. Ada masa tunggu atau menganggur dulu selama 7 atau 8 bulan.
Apalagi hanya bekal pendidikan S1 dari kampus Indonesia. Dimas punya kenalan seorang dokter dari Bandung dan menikah dengan perempuan Belanda. Keahliannya sebagai dokter di Indonesia tidak bisa dipakai di Belanda, karena standar yang berbeda belum lagi diharuskan fasih berbahasa Belanda.
“Akhirnya dia banting setir jadi Youtuber sekarang, nggak jadi dokter. Nggak bisa kemudian banyak juga bahkan yang sampai lulusan S2 pun misalnya S2 hukum atau yang bidang sosial itu nggak bisa langsung kerja di sini karena perlu sekolah lagi di sini dulu. Yang bisa langsung kerja di sini itu rata-rata yang bidang IT dan Engineering itu lebih banyak,” imbuhnya.
“Karena begitu ketatnya, kalau memang ingin kerja sesuai dengan bidang itu susah. Tapi kalau sekedar kerja, ya mohon maaf, kerja apa adanya gitu, bersih-bersih dan sebagainya itu banyak. Tapi kan untuk apa namanya dapat kualifikasi kayak gitu kan harus istilahnya harus dapat BSN number (nomor layanan warga negara),” papar Dimas.
Syarat mendapatkan BSN number untuk bekerja legal di Belanda, untuk pekerja kerah biru sekalipun, harus memenuhi syarat misalnya punya suami atau istri warga negara Belanda. Kemudian bukan warga negara Belanda tapi punya pasangan yang dipekerjakan secara legal oleh perusahaan Belanda, seperti yang dialami Dimas.
“Misalnya saya juga punya istri yang sudah kerja di sini, kaya gitu kan itu lebih mudah. Tapi kan untuk mendapat hal gitu kan nggak semudah itu. Makanya saya bilang di luar pun persaingannya juga ketat kalau kita nggak bener-bener punya skill yang bagus kita juga nggak bakal bisa bersaing. Dan di sini bener-bener fair, nggak ada istilahnya ‘orang dalam’ kayak gitu-gitu nggak ada,” tegasnya.
Belum lagi tentang modal finansial. Dimas mendapati orang Indonesia yang ke Belanda bisa merogoh kocek hingga ratusan juta. Namun modal itu belum tentu menjamin balik modal, karena bisa jadi tak diterima bekerja di perusahaan Belanda atau malah jadi pekerja ilegal kerah biru yang bayarannya lebih murah dari standar.
“Saya pernah dapat cerita langsung orang ilegal itu mereka modalnya Rp150 juta, belum balik balik modal. Ada yang baru satu bulan sudah benar-benar menyerah karena nggak kuat. Akhirnya kalau nggak kuat mereka menyerahkan diri untuk dideportasi,” imbuhnya.
Berpikir Realistis
Dimas mengatakan sudut pandang yang diberikannya dan beberapa diaspora Indonesia di luar negeri bahwa hidup di luar negeri tak semudah dan seindah yang dipikirkan adalah hal yang realistis. Sudut pandang ini bukan untuk ‘memadamkan’ mimpi orang Indonesia yang baru mulai mencoba #KaburAjaDulu, melainkan agar bisa menghitung modal dan risikonya. Tak asal nekat #KaburAjaDulu.
“Harus berpikir realistis. Kalo kita nggak punya modal ilmu, kita nggak punya modal apa yang ditawarkan untuk kerja di luar negeri. Kita nggak bakal bisa survive. Orang yang sudah punya modal aja, misalnya modal duit-modal ilmu aja di luar negeri masih banyak yang nggak bertahan. Apalagi yang nggak punya modal apa-apa itu dan kemungkinan berhasilnya malah jauh lebih kecil,” pesannya.
(nwk/pal)