Jakarta –
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ungkap keberadaan Arsip Dagboek Rechtshoogeschool. Sebuah dokumen bersejarah yang menjelaskan perjalanan pendidikan hukum di Indonesia dari era kolonial hingga pasca kemerdekaan (1925-1953).
Sekretaris UI, dr Agustin Kusumayati MSc PhD menyatakan dokumen ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Di dalamnya juga diceritakan bagaimana FHUI bisa hadir dan bertahan hingga saat ini.
“Arsip ini berperan dalam menjaga jati diri bangsa dan memastikan generasi muda tetap memiliki kebanggaan atas sejarah panjang perjuangan Indonesia,” ujarnya dikutip dari rilis di laman UI, Rabu (2/10/2024).
Isi Arsip Dagboek Rechtshoogeschool
Guru Besar Sejarah UI, Prof Susanto Zuhdi, menceritakan bahwa arsip terdiri dari tiga jilid yang terbagi dalam tiga periode. Ketiganya mencakup periode 1925-1938 pada jilid pertama dan periode 1939-1953 di jilid kedua.
“Adapun jilid ketiga memuat perjalanan akademik pasca-kemerdekaan, di mana terdapat perubahan gelar dari Meester in de Rechten (Mr.) menjadi Sarjana Hukum (S.H.),” kata Prof Susanto.
Seperti namanya, arsip ini berkaitan erat dengan Rechtshoogeschool sebuah perguruan tinggi hukum di Indonesia yang didirikan oleh Belanda.
Mengutip laman Dies Natalis Agung 100 Tahun FHUI, kehadiran Rechtshoogeschool berkaitan dengan surat yang dikirimkan Bupati Serang Raden Tumenggung Aria Achmad Djajadiningrat kepada Gubernur Jenderal Willem Rooseboom dari Belanda pada 21 November 1903.
Ia menyampaikan keinginan adiknya yakni Hoesein Djadjadiningrat untuk menjadi hakim. Melalui surat itu, ia juga bertanya apakah seorang pribumi yang telah memenuhi syarat akademis bisa menduduki jabatan di lingkungan peradilan.
Balasan surat tersebut ditetapkan dalam Algemene Secretaris tertanggal 27 Juni 1904 yang menyatakan bahwa petisi tersebut telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain. Namun, tidak mungkin dijawab dan diputuskan segera.
Akhirnya petisi itu dijawab langsung oleh Ratu Belanda Wilhelmina yang menyatakan pribumi yang telah cukup ilmu pengetahuannya dan sesuai dengan ketentuan undang-undang tak boleh ditolak untuk mendapat jabatan hakim. Terlebih bila alasannya seseorang itu pribumi.
Jawaban ini kemudian menjadi dasar Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 63 tanggal 9 Desember 1905. Empat tahun kemudian hadirlah Opleidingsschool voor Inlandsche Rechtskundigen (OSVIR) yang menjadi pelopor lahirnya pendidikan tinggi hukum di Indonesia.
Namun, saat itu OSVIR merupakan sekolah menengah kejuruan. Letaknya kini berada di Jl Medan Merdeka Selatan No. 10, Lembaga Pertahanan Nasional dan dipindah di Jl Pegangsaan Timur No. 17 yang kini digunakan sebagai hotel.
Tahun 1912, OSVIR menghasilkan enam orang lulusan perdana salah satunya R Soedirman. Pasca lulus mereka sudah mulai aktif sebagai ahli hukum. Meski begitu, umumnya lulusan OSVIR/Rechtsschool melanjutkan studi ke Universitas Leiden untuk gelar Mr. (meester in de rechten).
Awalnya OSVIR hanya terbuka bagi anak muda dari Jawa dan Madura. Namun pada tahun 1922, OSVIR berubah nama menjadi Rechtsschool dan memperbolehkan anak muda dari seluruh penjuru Indonesia untuk mendaftar.
Sayangnya OSVIR/Rechtsschool dan universitas di Belanda dinilai tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial akan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang hukum. Untuk itu, pemerintah kolonial mendirikan Rechtshoogeschool pada 28 Oktober 1924 yang kini lokasinya menjadi Museum Nasional.
Empat tahun kehadiran Rechtshoogeschool, Rechtsschool ditutup tepatnya pada 18 Mei 1928. Lulusan Rechtshoogeschool disiapkan untuk menduduki jabatan di pengadilan negeri (ajun panitera, panitera, anggota, ketua atau wakil ketua) atau bagi jaksa panitera pada pengadilan negeri.
Kehadiran Rechtshoogeschool hingga sejarah panjang lain masih banyak terungkap di Dagboek. Karena tidak hanya dinamika akademik, arsip ini juga mendokumentasikan perubahan sosial politik di antara komunitas Eropa, Pribumi dan Tionghoa di lingkungan pendidikan hukum.
Prof Susanto menjelaskan sebanyak 13 lulusan Rechtshoogeschool tercatat sebagai pahlawan nasional. Termasuk Amir Hamzah, sastrawan terkenal, dan Teuku Muhammad Hasan, yang berperan penting dalam negosiasi dengan Sekutu pasca Perang Dunia II.
Dosen FHUI, Yu Un Oppusunggu PhD, menambahkan arsip ini juga memuat catatan penting tentang penggunaan gedung Rechtshoogeschool sebagai markas tentara Jepang. Selaras dengan Prof Susanto, ia juga menyebutkan banyak lulusan Rechtshoogeschool terlibat aktif dalam pergerakan nasional, termasuk peristiwa Sumpah Pemuda.
Warisan Berharga Pendidikan Hukum di Indonesia
Dibukanya dokumen ini menjadi catatan perjalanan terkait pendidikan hukum di Indonesia. Ke depannya, arsip ini akan dibuka untuk penelitian lebih lanjut mengenai pendidikan hukum, sejarah, dan kearsipan.
Dekan Fakultas Hukum UI, Dr Parulian Paidi Aritonang, juga menyampaikan kebanggannya atas kontribusi besar FHUI dalam sejarah pendidikan hukum di Indonesia. Kelak arsip ini akan menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang.
“Ini bukan sekadar perayaan sejarah, tetapi juga momentum refleksi untuk memperkuat pendidikan hukum di abad berikutnya. Banyak pemikiran profesor terdahulu yang telah ‘mengindonesiakan’ kurikulum hukum kita, dan ini adalah warisan berharga bagi generasi mendatang,” tutup Dr Parulian.
(det/faz)