Jakarta –
Praktik pesugihan merupakan salah satu ritual yang cukup banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Biasanya, ritual pesugihan dilakukan di pegunungan yang dianggap keramat.
Nah, salah satu gunung yang dicap kramat adalah Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Praktik pesugihan di lokasi tersebut sudah sering dilakukan oleh sejumlah orang, baik dari dalam maupun luar kota.
Ritual tersebut ternyata berhasil menarik perhatian lima mahasiswa dari Universitas Brawijaya (UB). Mereka meneliti praktik pesugihan yang dikaitkan dengan kecenderungan mental disorder (gangguan mental), khususnya psikosis pada pelaku pesugihan.
Seperti apa hasil penelitian yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa tersebut? Simak pembahasannya dalam artikel ini.
Hasil Penelitian Praktik Pesugihan di Gunung Kawi
Kelima mahasiswa UB yang meneliti praktik pesugihan tersebut adalah Muhammad Harun Rasyid Al Habsyi, Zulfikar Dabby Anwar, Suntari Nur Cahyani, Anggi Zahwa Romadhoni, dan Andini Laily Putri. Kelimanya berasal dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB.
Selain mereka berlima, penelitian tersebut juga didampingi oleh dosen pembimbing bernama Destyana Ellingga Pratiwi, SP, MP, MBA.
Kata salah satu peneliti, Muhammad Harun Rasyid Al Habsyi mengatakan, secara general dari hasil penelitian ditemukan bahwa beberapa orang pelaku pesugihan Gunung Kawi dan orang terdekatnya memiliki keterkaitan antara praktik pesugihan dengan kecenderungan mental disorder.
“Terdapat keterkaitan antara praktik pesugihan Gunung Kawi dengan kecenderungan mental disorder khususnya Psikosis pada pelaku pesugihan (Gunung Kawi),” kata Harun dalam catatan detikEdu.
Berdasarkan penelitian dan wawancara yang dilakukan terhadap sejumlah informan, berikut hasil penelitian praktik pesugihan di Gunung Kawi:
1. Berdampak Psikis ke Pelaku dan Kerabat
Tim peneliti mengungkapkan bahwa ada sejumlah informan yang sering merasakan pengalaman ‘tidak biasa’, seperti mendengar suara aneh hingga melihat sosok gaib.
Salah satu anggota dari tim peneliti, Andini Laily Putri mengatakan, ritual pesugihan tersebut tak hanya berdampak pada pelaku, tetapi juga dengan kerabatnya.
“Ritual pesugihan Gunung Kawi erat kaitannya dengan kondisi psikis pelaku, bahkan kerabat terdekat pelaku turut mengalami halusinasi,” jelas Andini yang dikutip dari laman UB.
Namun, tim peneliti perlu menganalisis kembali data yang diperoleh. Sejauh ini, temuan awal yang didapat adalah terdapat keterkaitan yang signifikan antara ritual pesugihan Gunung Kawi dengan psikologis para pelaku.
Nantinya, tim penelitian tetap menganggap diagnosis resmi dari para ahli, seperti psikiater atau psikolog untuk melakukan verifikasi terhadap temuan awal mereka.
2. Beda Tujuan, Beda Tumbal
Harun menjelaskan, konsep ‘harta dibalas dengan nyawa’ atau tumbal disebutkan sebagai pengorbanan yang harus dilakukan oleh pelaku pesugihan.
Pengorbanan tersebut dapat berbeda antara satu pelaku ritual dengan yang lainnya. Sebab, hal itu tergantung dari tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku ritual. Pada umumnya, ritual pesugihan bertujuan untuk memperoleh kekayaan, kenaikan pangkat, hingga penglaris.
3. Tumbal Wajib Dilakukan Setahun Sekali
Lebih lanjut, Harun mengatakan jika tujuan pelaku ritual tercapai maka mereka harus menggelar acara selamatan sebagai bentuk pengorbanan.
Lalu, tumbal atau pengorbanan bagi pelaku ritual pesugihan di Gunung Kawi wajib dilakukan sekali dalam setahun. Kalau tidak dilakukan, maka pelaku ataupun kerabatnya yang akan menjadi korban.
“Jadi yang minta kekayaan itu dijaluk (diminta) itu ya. Kekayaan itu ditanya, kamu mau apa, tapi ya diminta imbalannya. Engko (nanti) kalau misale kamu 1 tahun bisa kaya, itu diminta tiap tahun. Lek (kalau) gak masuk ya kita sing (yang) meninggal. Dari keluarganya, kalau nggak keponakan,” ungkap Harun mengutip hasil wawancara dengan R, pelaku ritual berusia 78 tahun asal Lumajang
4. Ritual Pesugihan Dilakukan saat Malam 1 Suro
Menurut narasumber dalam penelitian itu, banyak pelaku ritual pesugihan justru berasal dari luar Gunung Kawi. Mereka biasanya melakukan ritual pada malam Jumat Legi atau Malam 1 Suro.
“Mereka datang ke Keraton Gunung Kawi pada malam Jumat Legi atau malam 1 Suro dan Hari Raya Idul Fitri,” jelas Harun.
Terkait sejumlah temuan penelitian, tim mahasiswa UB mengatakan dapat memberikan perspektif baru terkait praktik ritual pesugihan di Gunung Kawi secara psikologis.
Ke depannya, hasil penelitian itu bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan strategi rehabilitasi bagi pelaku pesugihan tersebut.
Tempat Sakral di Gunung Kawi
Sebagai informasi, Gunung Kawi merupakan gunung berapi yang sudah lama tidak aktif. Gunung ini dikenal sebagai salah satu objek wisata di Jawa Timur yang memiliki sederet keindahan alam.
Meski begitu, di balik keindahan Gunung Kawi terdapat sejumlah misteri yang kerap diperbincangkan orang. Selain menjadi tempat untuk mencari pesugihan, ada dua tempat di Gunung Kawi yang disakralkan oleh masyarakat.
Sampai saat ini, dua tempat itu banyak dikunjungi oleh peziarah maupun wisatawan. Mengutip catatan detikJatim, berikut nama tempatnya:
1. Pesarean Gunung Kawi
Pesarean Gunung Kawi merupakan tempat pemakaman dua tokoh masyarakat, yakni Raden Mas Soeryo Koesoemo atau Kiai Zakaria II dan Raden Mas Iman Soedjono.
Kiai Zakaria II yang juga dikenal dengan nama Eyang Jugo, merupakan kerabat dari Keraton Kertosuro yang menjadi pengawal perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajahan Belanda.
Eyang Jugo sebelumnya menetap dengan membangun padepokan di wilayah Dusun Jugo, Kesamben, Kabupaten Blitar. Eyang Jugo wafat pada Senin Pahing tanggal Satu Selo Tahun 1817 M. Jenazahnya dibawa dari Dusun Jugo, Kesamben, menuju daerah Wonosari, Kabupaten Malang, untuk dimakamkan sesuai permintaannya yaitu di sisi selatan Gunung Kawi.
Setiap tahun, para keturunan dan pengikutnya melakukan ziarah ke makam ini. Selain pada hari-hari tertentu, seperti saat malam Kamis Kliwon atau Jumat Legi, malam 1 Suro (Muharram), selalu diadakan perayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya. Upacara ini biasanya dipimpin oleh juru kunci makam yang masih merupakan para keturunan Eyang Jugo.
Selain terdapat makam yang disakralkan, di dalam kompleks pesarean terdapat pohon Dewandaru yang tumbuh tepat di pesarean Eyang Jugo. Menurut mitos dan kepercayaan masyarakat setempat, pohon itu dapat membawa keberuntungan.
Konon katanya, jika bertapa di bawah pohon itu hingga kejatuhan buah, daun, atau benda lain kemudian dibawa pulang, maka akan mendapatkan keistimewaan tertentu, salah satunya menjadi kaya. Namun, lamanya menunggu kejatuhan benda tersebut tak sebentar, bahkan ada yang bertapa hingga berbulan-bulan. Semua itu tergantung pada niat dan keikhlasan batin seseorang tersebut.
2. Keraton Gunung Kawi
Keraton Gunung Kawi berada di ketinggian 2.860 mdpl, tepatnya di wilayah Dusun Gendoga, Desa Balesari, Kecamatan Ngajum, Kabupaten Malang. Jika keraton biasanya identik dengan bangunan megah, tetapi Keraton Gunung Kawi mempunyai bangunan fisik yang jauh dari kemegahan.
Di keraton ini terdapat banyak sekali sesajen. Hal itu menunjukkan bahwa Keraton Gunung Kawi sering digunakan sebagai tempat pemujaan oleh warga yang mempercayainya.
Setelah memasuki pintu gapura keraton, pengunjung akan menemukan tiga makam, yakni makam Eyang Hamid, Eyang Broto, dan Eyang Joyo. Ketiganya dipercaya merupakan pengawal setia dari Eyang Tunggul Manik dan istrinya, Eyang Tunggul Wati yang dimakamkan di kompleks dalam keraton.
Itu tadi hasil penelitian dari tim peneliti mahasiswa UB tentang ritual pesugihan di Gunung Kawi. Tertarik untuk berkunjung ke sana?
(ilf/fds)