Jakarta –
Kuliah Reboan ke-3 Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) menghadirkan pembicara ternama, sejarawan Peter Carey, Emeritus Fellow Trinity College Oxford dan profesor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) pada 2013-2023.
Dalam acara yang berlangsung di Ruang Serba Guna FISIP Untirta dipandu dosen ilmu komunikasi Deviani Setyorini, Carey membahas tema ‘Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia’ yang diikuti lebih dari 200 peserta, termasuk mahasiswa dari berbagai jurusan dan fakultas serta masyarakat umum.
Inisiator acara dan mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Fuad Fauji mengungkapkan tema dan pembicara kali ini dipilih secara khusus. Menurutnya, sejarawan berkebangsaan Inggris ini, memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap sejarah Banten di masa lampau.
“Kami sangat antusias menyambut kunjungan pertamanya ke Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,” ujar Fuad, dalam keterangan tertulis, Rabu (4/9/2024).
Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi FISIP Untirta Ail Muldi, dalam pernyataannya menekankan pentingnya menjaga semangat intelektual dalam menyikapi peristiwa sosial dengan kritis. Menurutnya, Kuliah Reboan ini adalah gerakan kecil namun bermakna dalam menarasikan sejarah agar generasi selanjutnya tidak mengulang kesalahan yang sama
“Semangat dan antusiasme harus terus dipelihara agar api pengetahuan tetap menyala,” jelas Ail.
Sementara itu, Wakil Dekan I FISIP Untirta Nurprapti Wahyu Widyastuti, memberikan sambutan hangat dan ucapan terima kasih kepada Peter Carey. Dituturkan Nurprapti, FISIP Untirta sangat bangga dan bahagia atas kehadiran Carey.
“Kami berharap ini menjadi pemantik untuk segera mengangkat narasi tentang Banten keluar dari jerat korupsi,” ucap Nurprapti.
Dalam sesi tanya jawab, salah satu mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi menanyakan pandangan Carey tentang munculnya korupsi di Indonesia akibat sistem feodalisme yang ditanamkan oleh penjajah Belanda. Carey menjawab setiap negara modern pasti harus berurusan dengan korupsi.
“Pada abad ke-18, Inggris sangat identik dengan korupsi, terutama saat imperiumnya meluas di Asia. Kemauan politik untuk membasmi korupsi tidak datang dari pencerahan tentang ‘moralitas baru’, tetapi dari ketakutan akut terhadap kehancuran militer dan bencana finansial,” kata Carey.
Carey juga menyoroti bagaimana Inggris membutuhkan waktu 150 tahun untuk keluar dari jerat korupsi dan bagaimana Indonesia dapat belajar dari pengalaman Inggris. Menurutnya, salah satu langkah penting adalah membentuk universitas yang melatih pegawai negeri secara profesional dan mengembangkan etos kerja ‘pelayan publik’.
“Mari kita ingat, orang menjadi bijak tidak demi kebijakan tapi demi keharusan,” kata Carey, mengutip tokoh Mahatma Gandhi.
Acara yang berlangsung penuh antusias ini diharapkan dapat menjadi inspirasi untuk membangun narasi positif dalam memberantas korupsi di Indonesia, khususnya di Banten.
(anl/ega)